Suasana cafe masih berantakan seperti tadi pagi, Juno juga belum pulang, Dio hanya duduk termenung memandangi lukisan yang dibuatnya sampai-sampai tak sadar jika hari sudah mulai gelap.
Bukan karena merasa tidak puas dengan gambarannya sendiri, melainkan Dio sedang melamun memandang kosong lukisan itu. Ada hal yang sedang dipikirkannya, hal kecil yang sudah menganggu beberapa hari ini. Sebuah permasalahan yang dia sendiri tak tau itu apa.
Dio mengingat ulang mimpi yang memasuki tidurnya beberapa hari ini, mimpi seseorang yang sangat indah lalu menyedihkan. Mimpi indah yang mendadak berubah menjadi mimpi buruk.
Pikirannya buntu, sama sekali tidak ada jawaban yang pas untuk pertanyaan itu. mungkin saja ini Cuma bunga tidur, semacam cerita kecil-kecilan dalam dunia mimpi dimana seolah dia lah yang menjadi pemeran utamanya. Semacam aktor yang memerankan seorang tokoh dalam sebuah drama.
“udah selesai?” tanya Juno masuk dibarengi Abeng dibelakangnya. Menyadarkan Dio dari lamunan.
“sudah” jawab Dio singkat.
Dia berjalan kearah Abeng, tidak seperti biasanya. “bang” panggil Dio dengan senyum khasnya. Abeng sadar ada hal aneh dari Dio.
“mau apaan lo?” tanya Abeng seolah paham dengan gelagat mencurigakan adiknya.
“bang belikan gue pisau palet, kanvas sama cat air baru dong, yang lama sudah rusak sama habis” kata Dio mengungkapkan keinginannya.
“kok minta kegue, duit lo keja kemana?” tanya Abeng sempat tak mau menuruti maunya Dio.
“sudah terlanjur gue tabung, ayo bang gue kan jarang minta duit sama lo masa gini aja lo gak mau ngasih” jawab Dio dengan muka merengut.
“pake duit daddy aja” saran Juno
“gak mau, gue maunya Abeng yang beliin” jawab Dio menolak.
“ogah gue” jawab Abeng mulanya.
“Terserah lo aja” jawab Dio kesal lalu menendang kursi yang ada didekatnya dan pergi keluar dengan kasar.
Sebenarnya setiap bulan jatah kuas dan cat air untuk Dio melukis dikamar (selain melukis dinding) itu memang selalu Abeng yang membelikan.
“lo ngalah kenapa sih sama Dio, dia itu Cuma mau dimanjain sama abangnya. Masa gak peka.” Kata Juno memarahi Abeng. Akhirnya Abeng mengejar Dio sebelum sempat Dio naik kemotornya.
“iya, iya gue beliin. Tapi sekalian lo temanin gue beli komik” kata Abeng mengambil helm dan mengambil posisi didepan Dio. Sebelum sempat anak itu mengendarai motornya melesat pergi entah kemana.
Sepanjang perjalanan Dio tak henti tertawa terbahak-bahak. Karena bahagia bahwa triknya pura-pura marah berhasil menipu Abeng. Bahkan sesampainya mereka diparkiran Mall Dio masih sesekali tertawa jika mengingat kejadian tadi.
“puas lo ngerjain gue?” tanya Abeng kesal ditengah perjalanan keduanya menuju Gramedia, namun lebih dahulu pergi kebagian khusus menjual alat lukis.
“puas banget bang, kalau gak gitu mungkin lo gak mau.” Kata Dio masih dengan tawanya.
“kok cat air sama kanvas sudah habis aja, kapan lo gambar?” tanya Abeng

KAMU SEDANG MEMBACA
But, Who I Am?
Teen Fiction"Ketika waktu dan tragedi merubahmu menjadi orang yang berbeda" Seorang anak SMA sepolos Dian tidak pernah menyangka rasa sukanya selama ini kepada kakak kelasnya-Elang terbalaskan, entah keberuntungan macam apa yang menimpanya Elang anak paling hit...