Ale memandang jalanan yang ada di depannya ditemani sebuah kopi dan sebatang rokok di antara jari tangan kanannya. Pikirannya saat ini sedang berkecamuk. Jadi Raka ingin bermain kotor dengan menggunakan kekuasaan keluarganya? Sepertinya dia sudah memiliki sponsor lain untuk sekolahnya karna selama ini keluarganya tak berani mengganggu keluarga Lewis yang adalah donatur terbesar untuk sekolahnya tanpa meminta imbalan apa-apa.
Ale menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya perlahan. Setidaknya rokok ini dapat membuatnya menjadi sedikit lebih rileks.
“Le!” Ale menoleh dan mendapati Nino, Sandra dan juga Gita yang memegang tasnya berjalan menghampirinya.
“Lama bener sih lo,” sambut Ale yang langsung mematikan rokoknya dan menyeruput kopinya.
Gita melemparkan tas Ale ke pangkuan lelaki itu. Ale hanya tersenyum dan menyuruh Gita duduk di sampingnya.
“Lo gimana sih, hari pertama masuk abis diskors malah cabut, berasa elo anaknya yang punya sekolah,” ucap Sandra yang duduk di hadapan Gita.
Memang tadi saat Lestari menyuruh Ale kembali ke kelas, lelaki itu justru dengan mudahnya bolos setelah memberikan uang tip kepada satpam yang menjaga gerbang sekolah.
“Mumet pala gue, need refreshing,” jawab Ale lalu menatap Gita yang hanya memandangnya dengan tatapan seperti ingin memukulnya. Ale mencubit pipi Gita. “Kenapa sih mukanya? Aku cuma bolos sekali ini aja kok.”
Gita melepas tangan Ale. “Ini bukan waktunya buat bercanda, tau gak?!”
Ale terdiam dan melirik Nino dan juga Sandra yang memandangnya serius. Perasaannya tidak enak. “Ngeliat dari ekspresi kalian, kayaknya nyokap udah cerita yah?” tanya Ale.
Nino mengangguk. “Gila yah tuh Raka, gak terima kalah malah ngeroyok lo 5 on 1. Gak cukup sampe situ, bokapnya mau ngeluarin lo segala?! Elo?! The Lewis?! Udah gila emang tuh sekeluarga.”
“Yah mau gimana lagi, he’s his father, after all. Justru gue malah kesel kalo misalnya bokapnya Raka gak ngelakuin apa-apa ke Ale cuma karna ortunya donatur terbesar sekolahnya, itu kan keliatan banget mata duitannya,” lirih Sandra.
“Tapi kan gak dengan cara ngeluarin Ale juga, kan? Gak tau terima kasih banget,” ucap Nino kesal.
“Ya udah lah yah, udah kejadian mau diapain lagi. Gue bisa kan tinggal pindah sekolah aja,” timpal Ale.
“Asli. Kesel gue sama Raka. Brengsek tuh anak.” Nino memukul meja dan membuat kopi Ale hampir tumpah. “Nanti gue bawa anak-anak ngeroyok dia deh, Le. Jangan khawatir!”
Ale yang sedang menyeruput kopinya, mendengar perkataan Nino hanya bisa melambaikan tangannya. “Gak usah, ngapain sih keroyokkan gitu, kampungan. Biarin dia aja yang kampungan, kita jangan,” ucap Ale meletakkan kopinya di atas meja.
Nino berdecak kecewa. “Trus nanti kalo Gita digangguin Raka lagi gimana? Siapa yang bakal jaga dia?”
“Kan ada elo sama Sandra, No. Iya gak, San?” tanya Ale pada Sandra. “Lagian nanti gue juga bakal anter-jemput Gita kok, sekalian mantau apa tuh anak macem-macem.”
Gita yang daritadi hanya terdiam mendengarkan berdiri dengan tiba-tiba hingga menyenggol meja dan hampir membuatnya terjatuh jika tidak sigap dipegang oleh Ale.
“Kenapa?” tanya Ale pada Gita, panik.
Gita hanya menatap Ale sadis dan membalikkan wajahnya lalu berjalan masuk ke dalam cafe mengabaikan Ale. Nino dan Sandra berpandangan penuh tanya.
“Ta, mau kemana?” tanya Sandra.
“Pesen minum, haus. PANAS!” jawab Gita menambahkan penekanan pada kata terakhir.
Ada yang marah nih kayaknya. Batin Ale. Sepertinya masalahnya bertambah satu lagi. Ya ampun, Gita. Kenapa marahnya harus sekarang sih? Ini lagi gak tepat banget waktunya. Ale hanya menarik napas berat dan menghembuskannya perlahan. Semoga masalah yang satu ini dapat ia selesaikan dengan cepat.
*****
Pukul 20:45, Ale memakirkan motornya di carport rumahnya. Setelah berbincang dengan teman-temannya sampai jam 19:00, Ale mengantar Gita pulang dan seperti yang bisa dibayangkan, sepanjang perjalanan sangat sepi, tak ada yang mengeluarkan satu katapun. Bahkan Ale yang berniat ingin berbicara dengan Gita justru harus pulang dengan tangan kosong karna sesaat setelah motor Ale berhenti di depan rumah Gita, gadis itu langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa mengatakan apapun kepada Ale.
Ale masuk ke dalam rumah dan mendapati kedua orangtuanya tengah berbincang di ruang keluarga. Suasana diantara keduanya dapat dikatakan serius karna Ale dapat melihat Mama-nya tertunduk dan mendengarkan apa yang dikatakan Papa-nya.
Robert menyadari kehadiran putera semata wayangnya. “Ale, duduk sini.”
Dengan perasaan tidak enak, Ale menurut dan duduk di samping Mamanya yang langsung menggenggam tangannya.
“Papa udah dengar semuanya dari Mama kamu dan kami udah ngambil keputusan untuk memindahkan kamu ke rumah nenek kamu di Surabaya.”
Sepertinya dua puluh tahun tinggal bersama Lestari, Robert jadi ketularan sifat wanita itu yang tidak suka berbasa-basi. Dan hal itu tidaklah tepat digunakan saat seperti ini yang mana membuat Ale terdiam mencerna setiap kalimat itu.
“Maksudnya?”
Lestari menepuk punggung tangan Ale. “Kamu akan pindah dan sekolah di Surabaya. Tempat Oma kamu.”
Ale masih terdiam. Wajahnya saat ini memang bisa dibilang sudah tak berbentuk, namun pendengarannya masih baik-baik saja, tidak tersentuh sama sekali. Namun sepertinya barusan dia tak mendengar jelas apa yang diucapkan oleh Mama-nya.
“Apa, Ma? Pindah? Siapa yang pindah?”
“Surat perpindahan kamu di Jakarta sudah diurus oleh Mama kamu, besok Pak Agus akan ke Surabaya untuk mengurus perpindahan ke sekolah baru kamu. So you better pack your stuff now.”
Sebentar. Barusan Papa-nya bilang apa? Mama-nya sudah mengurus surat perpindahannya? Memangnya pindah sekolah semudah itu? Ale masih belum bisa menemukan suaranya saat Mama-nya menyentuh bahunya.
“Kamu siapin barang yang kamu mau bawa ke Surabaya yah, nanti Mama bantu.”
“Bentar, Ma, Pa. Ini maksudnya apa sih? Ale gak ngerti. Oke, Ale bisa ngerti kalo Ale harus pindah dari Karya Bangsa, but, why Surabaya? Ale kan bisa pindah ke sekolah lain di Jakarta gak harus jauh-jauh ke Surabaya,” ucap Ale yang sudah mengerti akan situasi yang saat ini sedang hadapi.
Rob menghela nafas berat. “Papa cuma mau ngehindarin kamu dari masalah lain.”
“Masalah apa? Masalah Ale sama Raka kan udah kelar.”
“Tapi itu gak menutup kemungkinan dia bakal balas dendam ke kamu!” jawab Rob dengan nada bicara yang semakin meninggi. “Dan bisa aja nanti para pesaing bisnis Papa dengar masalah ini dan menjadikan itu sebagai senjata mereka untuk menjatuhkan perusahaan.”
Ale mendengus. Jadi Papanya khawatir Ale akan terluka atau kehilangan perusahaan yang sudah dibangunnya dari kecil itu?
“Kalau Ale gak mau gimana?”
“Papa di sini bukan nanya pendapat kamu, jadi keberatan kamu gak akan nolong. Or, you want to go to England? Stay with your granny? You choose!”
“Pa,” tegur Lestari yang melihat kedua lelakinya hanya saling memandang tajam.
“Go to your room and pack your stuff. Right. Now.”
Dan seperti itu. Ale tahu keputusan yang telah dibuat kedua orangtuanya sudah final dan tidak dapat diganggu gugat.
Apa yang harus Ale lakukan? Berarti mulai besok dia tak perlu datang ke sekolah? Tidak, bukan itu yang Ale khawatirkan. Apa yang harus dia katakan pada Gita? Ya Tuhan.
Keadaan Ale dan Gita saat ini saja tidak bisa dibilang baik, sekarang ditambah masalah baru? Kenapa masalah-masalah justru datang di saat yang tidak tepat? Ale tak tahu lagi. Yang ia tahu, malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang.
*****
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Distance RelationSHIT ✓ (COMPLETED)
Historia CortaAle dan Gita adalah contoh sempurna dari Relationship Goal bagi semua murid di Karya Bangsa International School. Sama-sama memiliki fisik dan latar belakang keluarga yang sempurna, pasangan ini saling mencintai dan percaya satu sama lain. Namun sua...