16. Salah Sangka

44 13 12
                                    

Arkan turun dari motornya, setelah Caca yang lebih dulu turun. Dua orang itu mengamati kawasan rusun yang sepi, tempat Arkan menghentilan kendaraannya.

Berbeda dengan wajah Arkan yang biasa saja alias datar, Caca tampak bingung dengan tempat yang menjadi tujuan laki-laki itu. Terlebih melihat keadaan tempat tersebut, yang kumuh, dan sunyi seperti tidak ada yang menempati. Caca sendiri masih bingung apa alasan dibalik kedatangannya ketempat itu.

"Kita kenapa kesini Kan? bukannya tadi mau bolos main ke metro."

Arkan memegang helm Caca, melepaskan benda yang bertengger dikepala perempuan itu. "Lo tunggu sini aja. Kalo ada apa-apa lo hubungin gue."

Arkan hendak pergi, namun Caca menahannya dengan melilitkan tangan dilengan Arkan.

"Yang nelfon lo tadi siapa?" raut perempuan itu berubah serius.

Arkan menyentuh puncak kepala Caca. "Lo gak perlu khawatir." lalu selanjutnya laki-laki tersenyum simpul. "Kalo sejam gue gak keluar, lo hubungin Elang, Bara, atau siapapun anak-anak dimetro yang lo kenal. Ngerti."

"Lo kenapa? kenapa gue nelfon mereka, gue gak mau." wajah Caca menjadi sendu dan khawatir yang bersamaan.

"Turutin omongan gue Ca. Oke? atau gue nganterin lo nyari taksi buat pulang."

Caca cepat-cepat mengeleng. "Ngak. Gue mau disini. Nunggu lo, sampek lo keluar."

"Ca ayo dong."

"Pokoknya gue bakalan nelfon lo, titik."

"Yaudah, tapi janji jangan pernah masuk kedalem sana?"

Caca terdiam, ia tak berniat untuk berjanji, karna ia ingin megingkari kata Arkan itu.

"Ca."

Caca mengangguk. "Aku bakal dengerin kamu kok. Aku janji gak masuk."

Selanjutnya Arkan bergegas pergi, meninggalkan Caca didepan rusun itu seorang diri. Netra perempuan itu tak lepas dari punggung Arkan yang masih berjalan menjauhinya, hingga tubuh Arkan lenyap dibalik dinding bangunan itu. Hal itu membuat Caca merasa benar benar sendiri sekarang.

Laki-laki yang masih mengunakan seragam sekolahnya ditambah jaket kulit berwarna hitam itu berjalan seorang diri memasuki rusun kumuh tersebut. Tempat yang senyap itu membuat langkah kaki yang bergesekan dengan lantai terdengar mengema. Tujuan Arkan sekarang adalah atap rusun tersebut, tempat dimana sang musuh tadi katakan padanya.

Setelah menaiki lebih dari puluhan anak tangga, kini Arkan akhirnya tiba diatap rusun. Sesaat setelah masuk kedalam pintu yang ia buka, matanya langsung bersitatap dengan sosok Kevin disana, bersama beberapa antek-anteknya.

Wajah Arkan sama sekali tak terlihat takut, meski dihadapannya ada sekitar empat belas laki-laki yang menatapnya dengan garang.

Ketika Arkan mulai mendekat, Kevin memajukan dua langkahnya. Pria yang berpakaian serba hitam itu bertepuk tangan sembari mengulum senyum, lebih tepatnya seringgai. "Akhirnya lo datang juga," sedikit jeda, lalu. "Kawan." kata Kevin.

"Apa mau lo?"

Arkan berhenti dijarak kurang lebih lima langkah dari Kevin berdiri. "Main. I wanna playing a game."

"-"

"And you're my game."

Arkan mendecih. "Lo masih aja jadi bajingan. Gak cukup lo cekokin gue narkoba pas gue mabuk?"

hallo Anne!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang