Bagian Ketiga Puluh
Hanya karena kamu pernah disakiti, tak berarti kamu harus membenci. Jangan karena luka, kamu menjadi seseorang yang bukan dirimu.
-------------------------------
-FifaStory-
Sesampainya di kamar, Fina menghela napas panjang. Berulang kali ia manarik nafas dalam-dalam dan kembali menghembuskan secara perlahan, begitu juga seterusnya. Hingga rasa sesak yang ia rasakan mulai menghilang sedikit demi sedikit walaupun hanya sesaat.
Fina kemudian beralih melihat pantulan dirinya di cermin. Sangat menyedihkan. Di sana, ia dapat melihat pipinya yang berwarna merah dengan sudut bibir sedikit terluka yang berwarna kebiruan. Tangannya mulai terangkat secara perlahan dan mulai mengusapnya pelan. Fina tersenyum sendu. Bukan ini yang ia harapkan.
Ia hanyalah seorang perempuan yang terus berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja, hingga akhirnya tak ada satu orang pun yang tau sebenarnya. Sekali lagi Fina menarik napasnya dalam-dalam.
Satu tetes demi satu tetes matanya mulai mengeluarkan cairan bening yang selalu ia hindari. Fina terisak hebat. Apa salahnya? Apa ia salah jika mengharapkan kasih sayang dari seorang ibu dan ayah? Apa ia selalu salah di mata mereka?
Fina semakin terisak kuat, ia bahkan tak peduli lagi seberapa sakit bekas tamparan itu. Tapi kali ini, hatinya lah yang lebih sakit. Entah mengapa, sekarang rasanya lebih sulit. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Setiap satu tetes air matanya yang mulai turun, entah mengapa ia melihat kalau air itu adalah kelemahannya. Ia sudah gagal untuk tidak menangis lagi. Menahan air mata ini agar tidak turun saja ia sudah tidak mampu lagi. Apa ia sendiri bisa untuk menghadapi cobaan ini?
Fina tersadar, ia menoleh ke sumber suara. Handphonenya yang berada di atas nakas sepertinya menunjukkan kalau ada panggilan masuk. Dengan sedikit rasa malas, Fina bangkit dan langsung mengambil handphonenya. Tapi belum sempat Fina mengangkatnya, panggilan itu sudah kembali terputus terlebih dahulu. Fina menyerngit heran, panggilan ini tidak hanya 1 atau 2 kali, tapi sudah yang ke 7 kalinya dengan nomor yang tidak diketahui. Tanpa ambil pusing, Fina meletakan kembali di atas nakas.
Fina termenung hingga beberapa detik,
"Gue bingung, sekarang gue harus gimana?" -batinnya. Ia kemudian melirik ke arah lemari, tepat di sampingnya. Cukup lama Fina berdiam di tempatnya. Lagi-lagi Fina menghembuskan napasnya kasar sebelum akhirnya meyakinkan hatinya.
Gue butuh waktu. Iya, gue cuma butuh waktu.
Setelah mengucapkan kalimat itu di dalam hati, satu-persatu Fina mulai memasukkan baju miliknya ke dalam koper yang kebetulan ada di dalam lemari itu juga. Fina juga mengambil beberapa buku-buku mata pelajaran untuk beberapa hari ke depannya. Setelah itu, Fina kembali lagi menuju nakas untuk mengambil handphonenya. Tapi matanya malah beralih pada sebuah foto yang kebetulan berada tak jauh dari handphonenya berada. Fina tersenyum tipis, lantas secara perlahan tangannya bergerak untuk mengambil.
Kini Fina sudah berjalan menuruni anak tangga satu persatu. Sangat pelan agar tidak mengganggu siapapun. Ia berharap Fani, Mama, Papa dan Mbok sekalipun saat ini sudah tertidur.
Sesampai di halaman depan rumah, Fina sedikit menghela napasnya lega sebelum berbalik badan. Matanya menatap lekat kesetiap sisi rumah itu. Tatapan Fina berhenti di balkon kamar Fani yang terlihat remang lampu ridur. Sekali lagi ia menarik napasnya dalam-dalam, berat rasanya jika harus berpisah dengan Fani. Tapi ia juga tau diri. Selama ini ia hanyalah menyusahkan Mama dan Papa. Dan ia juga tidak ingin menyusahkan Fani nantinya jika melihat luka di wajahnya ini. Apa yang ia katakan jika Fani bertanya banyak hal nanti?
KAMU SEDANG MEMBACA
Fifa Story [END] ✔
Teen Fiction[PROSES REVISI] Nggak semua anak kembar itu memiliki nasib yang sama. Dimana salah satu dari mereka mendapatkan kasih sayang yang berbeda dan fisik yang juga berbeda. Tapi meskipun begitu, mereka masih saling peduli satu sama lain. Memang ada? Tentu...