Bagian Satu
Aku bukanlah orang yang selalu tegar saat diperlakukan layaknya aku tidak ada. Sesak? aku juga dapat merasakan hal itu. Seberusaha mungkin aku menahan rasa sesak itu. Tapi mengapa semakin aku menahannya, maka semakin terasa pula?
-------------------------------FifaStory-
Pukul 05:20Kriingg... Kriiingg.... Krii-
Tangan Fina langsung mematikan jam waker miliknya yang sudah berbunyi menggantikan ayam berkokok pagi ini. Fina masih menggeliat di atas kasur yang empuk, sulit baginya untuk bangun namun ia tak mau menuruti keinganannya yang akan menjadi kebiasaan buruk nanti. Ia bangkit dari tempat tidur dengan mata yang masih setengah terpejam. Tapi meskipun begitu, ia berjalan ke arah kamar mandi tanpa ada kecelakaan.
10 menit kemudian...
Saat ini, Fina sudah berada di hadapan cermin. Ia menyisir rambut kecoklatannya dengan lembut sambil bersenandung kecil. Kemudian ia mengambil sejumput rambut bagian sisi kiri dan kanan lalu ia satukan ke arah belakang dengan menggunakan jepit rambut berwarna biru langit dengan ukuran sedang. Membiarkan poninya terurai begitu saja membuatnya lebih terkesan manis.
"Selesai."
Sekarang Fina berdiri dari duduknya dan tetap memastikan kalau seragam yang ia gunakan saat ini memang benar-benar sudah lengkap dan rapi. Sebelum menuruni tangga, ia menyempatkan diri untuk mengambil ponsel di atas meja dan memasukkannya ke dalam saku kiri baju seragam yang ia kenakan.
Sesampainya di pertengahan anak tangga, langkah Fina terhenti sejenak saat melihat dimana Papa, Mama, dan adiknya yang sedang sarapan bersama dan terlihat sangat bahagia. Tanpa dirinya. Fina menarik napas dalam-dalam, kemudian melanjutkan langkahnya menuruni tangga dan menghampiri mereka.
Saat itu mereka masih belum menyadari keberadaan Fina. Mereka terlalu asik bercanda membuat Fina terpaksa untuk berdehem kecil, dan barulah mereka mengalihkan pandangannya ke arah Fina berdiri saat ini.
"Oh Fina, sini kita sarapan bareng Fin," ajak seorang perempuan yang memiliki wajah mirip dengan Fina.
Fina tersenyum tipis sebelum mengangguk dan mendekat ke arah mereka berniat gabung. Tapi belum sempat ia duduk, Rudy bangkit dari kursi dan menyudahi sarapannya sebelum pamit berangkat kerja.
"Papa berangkat dulu ya, takutnya telat."
"Loh Pa, sarapannya kan belum selesai, lagi pula ini masih pagi kan?" tanya Fani yang melirik ke arah jam dinding.
"Iya sayang, tapi hari ini Papa kamu ada rapat penting sama rekan kerjanya," sambung Bella sambil mengelus puncak kepala Fani.
Fani menatap Bella sebentar kemudian kembali manatap Rudy yang tersenyum lembut padanya "Ya udah deh, Papa hati-hati ya."
"Iya, Papa berangkat dulu. Kamu juga jaga kesehatan," ucap Rudy sambil mengusap rambut Fani lembut.
"Papa berangkat ya Ma," pamit Rudy pada Bella sambil mencium kening istrinya.
Kemudian Papa menoleh ke arah Fina, ia menghela napas. "Fin, Papa berangkat dulu."
Lantas Fina langsung mendogak, kemudian mengangguk dan tersenyum tipis "Iya Pa, hati-hati."
Rudy tidak membalas ucapan Fina dan langsung melangkah pergi.
Sedangkan Fina, ia tersenyum getir menatap kepergian Rudy.
"Kapan sih Pa, Papa bisa memperlakukan Fina sama seperti Fani?" batin Fina bertanya pada orang yang jelas-jelas tidak mendengarnya.
"Oh iya Ma, Fani kapan bisa sekolah kayak Fina Ma? kan Fani juga mau sekolah kayak yang lainnya," ucap Fani dengan wajah cemberut.
"Nanti ya, tunggu kamu sehat total." balas Bella pada Fani seraya mencubit pipi anaknya gemas.
"Pokoknya-"
"Udah sayang, kamu banyakin sarapannya biar kamu cepat sehat. Mama nggak mau liat kamu sakit kayak 2 bulan yang lalu".
"Tapi ma-"
"Mama janji akan ajak kamu jalan-jalan ke tempat yang kamu mau hari ini, tapi dengan syarat kamu abisin dulu sarapan kamu ini," sela Bella pada Fani sambil menambahkan nasi goreng kepiring Fani.
Fina yang melihat perhatian yang Bella beri pada Fani saat ini, hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ingin? Tentu Fina ingin diperlakukan seperti itu juga. Tapi Fina juga sadar, itu hanyalah sebuah harapan yang akan berujung dengan rasa sakit.
"Beneran Ma? Mama nggak bohong kan?" tanya Fani dengan semangat.
"Iya sayang. Memangnya Mama pernah bohongin kamu? Hm?" tanya Mama pada Fani. Kemudian ia tersenyum lembut saat melihat keadaan Fani yang sepertinya semakin membaik. Ia lalu mengecup puncak kepala putrinya dengan rasa penuh kasih sayang.
Cukup! Jujur saja saat ini Fina yang mendengar perbincangan mereka berdua, seberusaha mungkin menahan air matanya yang entah sejak kapan sudah mengandung. Ia hanya dapat menundukkan kepala dalam diam. Diam dalam perasaan yang sakit. Dan sakit yang untuk kesekian kalinya.
Tak mau belama-lama lagi, Fina langsung bangkit dari kursinya dan berniat pamit "Kayaknya Fina harus berangkat sekarang deh Ma, Fan. Fina lupa, hari ini Fina ada jadwal piket kelas. Assalamualaikum." pamitnya sebelum pergi.
"Wa'alaikum salam. Hati-hati Fin," jawab Fani.
"Waalaikum salam."
Fina menganggukkan kepalanya pada Fani, kemudian matanya beralih pada Bella yang kini sedang menyuap nasi tanpa niat menatapnya. Lagi-lagi Fina hanya dapat menghela napas pelan, kemudian berjalan cepat meninggalkan meja makan dengan air mata yang hampir turun.
Sebenarnya, ada jadwal piket kelas tadi hanyalah alasan Fina. Ia terpaksa berbohong hanya supaya ia bisa cepat pergi dari hadapan Fani dan Mama. Ia takut air matanya akan turun di depan mereka saat melihat bagaimana Mama yang terlihat sangat tulus menyayangi Fani. Berbeda dengan Fina. Sesak. Hanya itu yang dapat Fina rasakan setiap kalinya menyadari kenyataan.
Sampai kapan?
Capek...
lirih Fina sambil memukul-mukul dada yang terasa sesak.
***
Follow ig : @goresan.coret_
Ps : Jangan pelit sama Votenya ya guys💗 Lovyou!
Salam Cetar^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Fifa Story [END] ✔
Teen Fiction[PROSES REVISI] Nggak semua anak kembar itu memiliki nasib yang sama. Dimana salah satu dari mereka mendapatkan kasih sayang yang berbeda dan fisik yang juga berbeda. Tapi meskipun begitu, mereka masih saling peduli satu sama lain. Memang ada? Tentu...