Bab 13

2.9K 361 15
                                    

"Move on. Sebuah kata yang mudah diucapkan, namun sulit untuk dilakukan"

***

Ken dan Dean, serta Ibu mereka sedang menyantap sarapan pagi di hari sabtu yang cerah ini. Namun sepertinya suasana di ruang makan ini tidak secerah cuaca diluar sana. Ken dan Dean hanya saling menyantap makanannya tanpa membicarakan hal lain.

"Gimana kelas baru kamu Dean?" Tanya Ibunya

"Biasa aja" jawab Dean malas, tatapannya masih setia pada makanannya.

"Kalau kamu Ken?"

"Ya kayak biasanya, Ma" jawab Ken menatap Ibunya lalu tersenyum simpul

"Aku udah selesai," Ucap Dean lalu hendak berlalu pergi dari meja makan, namun lengannya sudah ditahan oleh Ken.

"Nggak cuci piring?" Tanya pria itu, lalu tersenyum lebar.

Dean menatap Ken jengkel, lalu mengambil piring kotornya dan mencucinya.

Ibu Dean tertawa ringan melihat tingkah kakak beradik itu.

"Dean, bisa kamu cuciin punya mama juga? Mama juga udah selesai," Ucap Ibu Dean sedikit mengeraskan suaranya agar terdengar oleh Dean yang sedang sibuk mencuci.

"Sini ma, aku bawain" Ken bangkit dari duduknya lalu membawa beberapa piring kotor ke tempat cucian piring.

"makasih Dean" Ucap Ken sebelum berlalu pergi. Sementara Dean hanya mendengus kesal.

***

Dean duduk ketepi ranjangnya setelah menyelesaikan kegiatan mencuci piringnya. Ia mengambil ponselnya, lalu menemukan sesuatu yang menarik disana. Yaitu, pesan dari Ken.

Ken: Kemarin malem kenapa nangis?

Dean: Bukan urusan lo.

Setelah mengetik balasan itu Dean melempar ponselnya asal. Lalu berbaring diranjangnya. Tapi saat itu juga seseorang mengetuk pintu kamarnya.

"Apa?" Tanya Dean ketika melihat siapa yang mengetuk pintu kamarnya.

"Nggak dipeesilahkan masuk?" Ken bertanya sambil tersenyum tipis. Dan Dean benar-benar membenci itu. Membenci ketika Ken tersenyum padanya, terutama pada gadis lain.

Dean pun membukakan pintu untuk Ken, lalu Ken langsung duduk disofa merah didekat tempat tidur Dean. Ken menepuk-nepuk sofa itu, seolah-olah menyuruh Dean untuk duduk disampingnya. Namun karena saat ini Dean sedang melaksanakan langkah untuk move on, maka Ia lebih memilih untuk duduk di ranjangnya.

"Kenapa?" Tanya Dean to the point. Dean tidak ingin lama-lama bersama kakaknya itu, takut kalau pertahanannya akan runtuh.

"Lo berantem sama Cheesy?"

"Nggak mungkin. Buat apa kita berantem?"

"Terus kenapa lo nangis?"

"Udah gue bilang, itu bukan urusan lo. Kenapa repot-repot memikirin sih?"

"Gue hawatir, Dean" sungguh, Dean ingin sekali memukul laki-laki dihadapannya itu, karena melontarkan kata khawatir pada semua orang.

"Lo itu kurang urusan atau gimana sih? Khawatir kata lo? Lo emang selalu khawatir kan sama semua orang?"

"Sama emua orang? Gue cuma khawatir sama lo,"

"Lo juga khawatir sama Cheesy!" Kalimat itu akhirnya keluar, membuat Dean salah tingkah lalu mengalihkan pandangannya ke segala arah.

"Iya. Gue juga khawatir sama dia. Gue khawatir sama kalian berdua, sama mama juga."

"Kalau gitu, kau lo cuma harus khawatir sama Cheesy, nggak usah peduli sama gue"

"Gue khawatir sama lo karena lo adik gue" Dean menghela napasnya ketika Ken menyebut kata adik dalam kalimatnya.

"Apa lo cemburu kalau gue khawatir sama Cheesy?" Setelah terdiam beberapa saat. Ken menanyakan hal itu pada Dean, yang membuat Dean terkejut setengah mati.

"Gue cuma gasuka kalau lo cuma mainin perasaanya. Pas lo khawatir sama dia, dia seneng banget. dia bener-bener masih suka sama lo Ken," Dean berbohong dengan alasan itu. Ingin sekali rasanya mengatakan bahwa Ia sangat cemburu karena Ia menyukainya. Namun, kata adik yang diucapkan Ken barusan adalah penghalangnya.

"Tenang aja. Gue nggak bermaksud mainin perasaannya. Apa yang gue lakuin karena emang gue juga masih suka sama dia. Ya, gue baru sadar aja" jelas Ken

"Bagus kalau gitu" Jawab Dean berusaha tersenyum

"Gue udah nyeritain tentang perasaan gue. Jadi sekarang, giliran lo." Ucap Ken menatap gadis dihadapannya itu

"Apa? Gue? Gue nggak suka siapa-siapa,"

"Oke. Ceritain ini aja, tentang hubungan lo sama Alex,"

"Apa harus?"

"Harus"

"Hari itu, hari dimana Ibunya Alex meninggal. Gue nggak tau saat itu kalau Ibunya Alex meninggal. Amel nyuruh gue ketemuan di Kafe. Amel sms mama, Dia bilang pengen ngembaliin handphone gue yang ketinggalan dirumahnya waktu gue nginep di malam sebelumnya. Dan kebetulan itu lagi libur semester, jadi kita nggak bisa ketemu disekolah. Pas sampe dikafe yang dimaksud Amel, gue nggak nemuin Amel disana, malah ada Diko temen sekelas gue dulu, dan Diko ini deket sama Alex. Gue nyamperin dia, cuma sekedar nyapa, tapi pas gue liat mukanya kusut banget. Kayak habis kena musibah. Terus gue nanya sama dia, dia kenapa. Dan dia bilang kalau adiknya meninggal. Seinget gue, adiknya itu emang lagi di rawat dirumah sakit karena mengidap penyakit kanker, gue juga pernah beberapa kali jenguk adijnya. Gue kaget dong pas Diko bilang gitu."

"Terus tiba-tiba, Diko meluk gue, gue cuma diem. Nggak bisa bales pelukannya ataupun ngelepasin. Abis itu kita mengobrol sebentar, dan akhirnya Diko pulang. Disitu gue mulai merasa ada yang janggal, kenapa Diko ada di kafe? Seakan-akan emang udah direncanain buat ketemu gue, dan kalau adiknya meninggal ngapain dia malah ke kafe? Dan dimana Amel?, akhirnya gue pulang kerumah karena nggak nemu Amel,"

"Sorenya, gue putusin buat pergi kerumah Amel. Dan dia ada disana, ngembaliin handphone gue terus bilang kalau dia mau pergi, jadi gue nggak bisa mampir. Gue pun pulang kerumah dan ngecek beberapa pesan yang masuk. Anehnya, sama sekali nggak ada pesan dari Alex. Harusnya cowok itu udah ngabarin gue. Akhirnya gue telfon Alex, dan dia langsung minta gue ketemuan di kafe"

"Tibalah gue dikafe. Disana udah ada Alex, dan mukanya keliatan kayak marah banget,"

"Kamu kenapa? ada masalah? Gue nanya kayak gitu. Tapi dia malah bentak gue, dia bilang bundanya meninggal pagi tadi tapi gue nggak jawab telfonnya, bahkan nggak awab pesannya. Teeus dia nunjukin foto gue lagi pelukan sama Diko. Gue kaget karena semua hal itu. Gue mau ngejelasin, tapi Alex buru-buru pergi. Gue tetep bersikeras buat ngejelasin, entah dimana pun, dirumahnya atau bahkan di sekolah. Tapi dia selalu nyuekin gue. Dia bener-bener nggak mau dengerin gue, akhirnya gue nyerah,"

"Dan sejak itu semua siswa musuhin gue. Dan ini semua gara-gara Amel," tanpa sadar Dean mulai menangis. Tidak. Bukan karena Ia masih menyukai Alex, hanya saja Ia tidak suka jika harus mengingat hal itu lagi.

Ken menghampiri Dean, duduk disebelahnya, lalu memeluknya. Memeluk gadis itu dengan hangat, sambil mengelus pelan rambut Dean. Membuat debaran itu muncul lagi. Debaran yang Dean tahan sejak tadi.

***

Hai! Jangan lupa untuk sekedar vote dan komen ya. Terimakasih.

Silabiila

Hujan Di Langit NovemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang