9. Ominous Dream

1.4K 187 32
                                    

Rosé menyeret langkah menuju pintu apartemen miliknya di ujung lorong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rosé menyeret langkah menuju pintu apartemen miliknya di ujung lorong. Tiap-tiap derap maju makin lama makin terasa berat, seolah masing-masing pergelangan kakinya terikat rantai bola besi seberat lima kilo. Rosé terlalu malas untuk melakukan apa-apa, pikirannya hanya penuh oleh bayangan bak mandi penuh air hangat dengan bath bomb beraroma floral yang menenangkan. Ia benar-benar memerlukan istirahat setelah seharian ini menghadapi semua masalah yang alih-alih mereda, justru malah semakin bertambah rumit. 

Padahal ia sudah menurunkan ego dan harga dirinya untuk mengakui kesalahannya malam itu, namun entah kenapa justru media semakin mencampuradukkan segala fakta, asumsi dan opini masing-masing dan mengangkatnya sebagai artikel berita. Sore tadi sebelum jam pulang kantor, Rosé bahkan sempat melihat berita mengenai dirinya sebagai Face of Vague 2014 kembali diangkat dan ramai diperbincangkan. Hanya karena satu kesalahan saat ia mabuk. Padahal kalau dipikir dengan logis pun, kesalahan menyiram seorang pewaris grup terkemuka bukanlah suatu dosa besar. Ini tidak seperti Rosé membunuh seseorang atau merampok bank. Kecuali jika memang lelaki pewaris tahta yang bergelimang harta itu benar-benar menyimpan dendam padanya lebih daripada yang ia kira. Jika demikian, Rosé yakin baik dirinya maupun L'épine sudah pasti akan tinggal nama. Berseteru dengan pemilik kekuasaan, pemilik harta berlimpah dan pemilik kekuatan militer adalah tiga hal yang sebaiknya dihindari jika seseorang ingin hidup dengan wajar. Namun Rosé menumpahkan segelas lemonade tepat di atas kepala salah satu kelompok itu, dan di sinilah ia sekarang. 

Kegelapan menyelimuti apartemennya, sama seperti hatinya saat ini. Rosé sengaja tidak menyalakan lampu ruang tengah dan berjalan ke arah dinding kaca lebar yang menghadap ke arah jalanan. Tirai yang menggantung berat disibakkan, dan dari ketinggian enam belas lantai ia bisa melihat hilir mudik kendaraan dan lampu-lampu perkotaan berkelip. Seperti sebuah padang bintang menghampar di bawah kakinya. Dalam keremangan cahaya seperti sekarang, Rosé merasa sepi. Ketika ia sedang sendirian seperti sekarang ini, dunia terasa benar-benar luas dan ia hanya seseorang di antara sekian milyar manusia lainnya. Tidak signifikan. 

Ponsel di dalam tas tangannya berdering, dan lamunan-lamunan yang terbentuk di dalam kepala kembali tersimpan rapat. Sederet nomor tak bernama meneleponnya, dan tanpa pikir panjang Rosé segera menolak panggilan tersebut. Dalam kondisi kalut seperti ini, setiap nomor asing yang masuk ke ponselnya membuatnya cemas dan Rosé lelah harus bersikap waspada dan tertekan karenanya. Buru-buru diambilnya ponsel itu kembali, hendak mematikan dayanya. Bisa saja para wartawan telah mengetahui nomor ponselnya entah dari mana. Namun sebuah pesan masuk membuatnya menunda niatannya.

Roséanne Park, benar? Ini gue, Goo Junhoe. Lo nggak simpan nomor di business card gue?

Rosé ber-'ah' dalam hati. Siang tadi dirinya sempat bertukar kartu nama dengan lelaki itu. Ralat, lebih tepatnya ia yang memberikan kartu namanya. Junhoe meminta kontaknya, berdalih bahwa lelaki itu telah memberikan kartu namanya di pertemuan Rosé dengan sang ketua HG.

Rosé kembali merogoh tas tangannya mencari selembar kertas tersebut. Tapi tidak ada. Ia berpikir sebentar sebelum berlari kecil ke arah stand hanger di dekat pintu. Rosé menemukannya di saku kiri mantel yang ia kenakan hari ini. Kertas yang seharusnya sudah tak berbentuk ternyata masih dalam kondisi bagus, entah berapa uang yang dikeluarkan lelaki itu untuk mencetak selembar kartu nama saja. Nomor yang tertera di sana sesuai dengan nomor yang baru saja menghubungi ponsel Rosé.

Dopamine | Junhoe x RoséTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang