Vibrasi di ponsel Rosé tidak lantas membuat sang gadis beranjak dari lamunannya. Senyum di bibirnya lenyap tanpa bekas, dan seruan Jisoo yang kedua kali-lah yang membuatnya tersadar dan bereaksi.
Roséanne menerima panggilan telepon tersebut dan membawa ponselnya mendekat ke sisi kepala.
“––halo?”
“Rosé?” Suara maskulin dan sedikit serak menyapa rungu, dan jantung sang dara-lah yang terkena dampaknya. Kerusakan sedikit sepertinya, ditandai dengan adanya detak yang terlewat satu. Rosé tak pernah menghitung degupnya, namun sepersekian sekon keterlambatan itu begitu terasa. Tanpa disadari, ia menelan ludah dengan gugup.
“Ya?” Masih dengan kegugupan yang nyata, namun teredam oleh tutur kata yang dipaksa kalem, Rosé menyahut. Hanya Jisoo yang menjadi saksi kalau sahabatnya itu menerima panggilan dengan panik. Meski dirinya hanya diam saja menonton dari ujung kitchen island.
“Ada perkembangan dari pihak gue, dan rencananya mau diskusiin ini bareng pihak lo. Gimana? Ada waktu luang buat ketemu langsung?” Junhoe menyampaikan perihal apa yang membuatnya menghubungi Rosé tiba-tiba seperti ini, dengan tanpa basa-basi. Mendengar itu, panik yang berkecamuk di kepalanya berangsur-angsur memudar.
“Oh, kalau ketemu langsung…” mengingat kejadian saat dirinya melakukan pertemuan dengan Presdir Goo beberapa waktu lalu, Rosé merasa segan untuk keluar dan mendapat risiko dibuntuti para reporter. Ia tidak yakin jika perjalanan menuju kantornya akan aman meski laporan tim PR mengatakan demikian. Walaupun mereka tidak akan membuat masalah yang berdampak pada L'épine, namun tetap saja––
Roséanne tiba-tiba menegakkan punggung dan bergegas mengambil pc tablet miliknya. Goo Junhoe masih menunggu kalimat Rosé yang terpotong, namun dia justru mendengar suara feminin di ujung telepon menyuruhnya menunggu dengan intonasi serius. Junhoe mendengar suara-suara latar belakang yang bersumber dari bunyi-bunyian di sekitar Rosé. Termasuk beberapa denting notifikasi dan ketukan-ketukan kecil yang dihasilkan oleh kuku berpulas cantik milik Rosé yang beradu dengan permukaan pc tablet.
“Oke, lo kasih tahu waktunya, kalau bisa secepatnya. Biar gue yang tentuin lokasinya.” Ucap Rosé kemudian, masih memandangi dengan lekat isi laporan yang diterimanya siang ini.
Junhoe mengiyakan dan memberi tahu kapan waktu yang bisa ia luangkan, tanpa menanyakan apa yang ada di pikiran gadis itu. Ia sama sekali tidak mengetahui perubahan emosi Roséanne, dari yang awalnya panik lalu beranjak tenang, dan saat ini kembali berkecamuk dengan kekhawatiran.
“78° punya private lounge kan? Kita bisa bicarain hal ini di sana.” Setelah mendengar persetujuan dari pewaris HG itu, Rosé segera menyudahi panggilan. Lengan yang ia gunakan untuk menyokong ponsel selama telepon kembali lemas, terkulai di atas sofa. Sesungguhnya ia merasa panik yang cukup parah kembali menyerang, namun dipaksakannya untuk bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dopamine | Junhoe x Rosé
FanfictionRoséanne Park, mantan model papan atas yang kini menjabat sebagai CEO sebuah butik, mengalami trauma yang selalu menghantuinya dari masa lalu. Pertemuannya dengan Goo Junhoe tidak dapat dibilang bagus, pun memantik traumanya, namun diam-diam lelaki...