8. Apology

1.5K 186 14
                                    

“Surat permintaan maaf? Buat apa, Ci? Lo diancam sama cowok brengsek itu ya?! Kalau gitu biar gue urus, teman gue yang pengacara bisa bantu pasti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Surat permintaan maaf? Buat apa, Ci? Lo diancam sama cowok brengsek itu ya?! Kalau gitu biar gue urus, teman gue yang pengacara bisa bantu pasti.” Lisa mengomel murka, menunjuk-nunjuk selembar kertas yang dibawa Rosé dengan garang.

“Lis, Lisa. Dengerin gue dulu.” Lengan Lisa ditarik hingga gadis berperawakan kurus itu terduduk di sebelahnya. Rosé memperlihatkan ponselnya yang menampilkan chatroom antara ia dan Liliana.

“Emang benar, cowok itu 'pernah' mengancam gue…tapi setelah dipikir-pikir lagi, kasus ini ada karena gue. Terus, Kak Lily bilang kalau proyek drama itu nggak dibatalkan, cuma meeting-nya aja yang ditunda, dan sepertinya kontraknya bakal diperpanjang sampai season selanjutnya.” Rosé berpanjang lebar menjelaskan. Lisa tampak tenang setelah mendengar itu, bahunya direbahkan pada sandaran sofa. Kepribadian Lisa yang terus terang dan cukup meledak-ledak ketika menghadapi masalah memang bertolak belakang dengan sifat Rosé yang cenderung kalem, namun itulah daya tarik yang membuat mereka makin dekat.

“Ci, kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita sama gue. Gue sebisa mungkin akan membantu lo. Pegang kata-kata gue.” Lisa berucap serius. Sahabatnya hanya mengangguk, kemudian mengipaskan lembaran kertas yang sedianya hendak diisi dengan permohonan maaf tertulis. Setelah semua yang terjadi antara Rosé dan Junhoe, sebuah permohonan maaf memang seharusnya disampaikan olehnya.

“Tapi, lo yakin bikin surat permohonan maaf yang di-post kayak gini? Kenapa nggak minta maaf secara langsung aja?” Gadis berponi itu kembali berkomentar, menghentikan gerakan menulis Rosé.

“Cowok itu mau orang-orang tahu kalau dia korban di sini…korban gara-gara gue mabuk.” Lirih Rosé, yang tanpa sadar menggigiti kukunya. “Walaupun gue yakin gue nggak mabuk malam itu, entah kenapa gue nyiram dia hanya karena merebut gelas gue. Lo tahu kan Lis, toleransi gue terhadap alkohol tuh tinggi. Gue nggak tahu kenapa gue bisa melakukan itu?” ujarnya lagi. Kalau hitungan Rosé benar, cocktail yang dikonsumsinya  malam itu tidak melebihi kapasitas tubuhnya untuk tetap sadar.

“Oh…gue baru dengar cerita ini. Jisoo bilang lo udah minum empat gelas, tapi lo udah kelihatan tipsy. Jadi dia melarang lo buat lanjut minum, terus si cowok itu datang dan main rebut gelas. Gue pikir lo masih sadar, secara gue tahu batas toleransi lo, nggak mungkin lo main siram kepala orang tanpa alasan. Makanya gue menyimpulkan kalau cowok itu harassed lo.”

Rosé menggeleng lagi untuk menanggapi omongan Lisa. Pikirannya kembali melayang ke malam itu, ketika Jennie mengundangnya ke bar. Benaknya yang suntuk benar-benar perlu seteguk dua teguk alkohol, jadi diiyakan saja ajakan si gadis Kim. Esok hari bukanlah akhir pekan, namun tidak ada pekerjaan berat yang menunggu untuk diselesaikan juga. Rosé tidak berniat mabuk, hanya perlu sedikit melepas penat. Dia tahu benar Jisoo meracik minumannya seperti biasa, itulah alasan ia tidak menjadi pelanggan tetap suatu bar, melainkan menjadi konsumen Jisoo yang paling setia. Tidak peduli bar atau night club mana, asalkan Jisoo bartendernya maka Rosé akan mendatanginya.

Dopamine | Junhoe x RoséTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang