Last Wish [Vernon]

50 11 6
                                    

Hurt/Comfort, Romance | PG | 500+ words
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪
"Biarkan aku mengajukan permintaan terakhir padamu, Vernon."

-Jeon Somi-
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪

Somi tahu, sebentar lagi adalah saatnya.

Ia mengedar pandang, sambil sesekali melirik ke arah luar jendela kaca besar kafe tempatnya berada. Tak banyak mobil yang melintas, pula dengan pejalan kaki. Suasana kafe pun tak ramai, paling hanya sekedar beberapa orang yang sedang mengobrol dan sedikit suara denting peralatan makan.

Ini sudah cangkir ketiga dari kopi yang sedari tadi diseruputnya, namun rasa gelisah itu belum juga hilang. Berkali-kali pula ia menatap jam kecil yang melingkar di pergelangannya sembari menghela napas berat.

Bukan, bukan salah pemuda itu bila Somi harus menunggu hampir tiga puluh menit lamanya, karena Somilah yang terlampau awal dari waktu perjanjian.

"Oh, Somi?"

Pandangan Somi teralih, dan seketika dua pasang mata itu bertemu. Senyum manis namun agak dipaksakan langsung terukir di bibir sang gadis.

"Kupikir aku kepagian, tapi ternyata kau sudah datang. Apa kau menunggu lama?" tanya sang pemuda sambil mendudukkan diri di hadapan Somi.

"Tidak juga," jawab Somi berbohong. "Untunglah tidak, karena kau juga datang lebih awal."

Tawa kecil Somi mengundang senyum dari pemuda itu.

Entah mengapa, rasanya canggung. Begitu canggung bila dibandingkan dengan kedekatan mereka selama dua tahun terakhir. Somi merasa kikuk sendiri, padahal sang pemuda terlihat biasa saja.

"Jadi, ada apa?"

Somi berhenti menyeruput kopinya.

Teringatlah kembali beberapa kata-kata yang sempat dilontarkan pemuda itu beberapa hari silam. Yang menyatakan kalau waktu mereka tinggal sedikit lagi. Yang menyatakan bahwa ia harus benar-benar pergi. Yang menyatakan jika mereka mungkin memang tidak ditakdirkan untuk bersama.

Takdir, huh? Memikirkannya saja membuat Somi muak.

Matanya kembali menatap sang pemuda. Ia tahu, waktunya tersisa dua puluh empat jam. Ia pun tahu, ini salah. Namun, rupanya sang hati nurani terkalahkan dengan persetujuan dari sang pemuda.

"Sebenarnya aku juga bingung. Tapi karena mengingat bahwa hari ini adalah hari terakhir kita sebelum kau memenuhi permintaan ibumu, biarkan aku mengajukan permintaan terakhir padamu, Vernon."

Kedua mata sang pemuda membola, lalu ia mendengus tawa. "Hei, kau mengatakannya seakan aku adalah pasien penyakit akut yang sebentar lagi akan dipanggil Tuhan."

"Benarkah?"

"Ayolah, Somi. Aku hanya akan pindah ke Amerika dan bukannya ke alam lain."

Somi pun mengulum senyum sambil meletakkan kembali cangkirnya yang kini telah kosong. "Aku tahu. Kau akan pindah ke Amerika, dan juga sekaligus berpindah ke pelukan wanita lain. Ya, aku tahu."

"Somi ...."

Beberapa sekon terjadi keheningan. Vernon tahu ia tidak akan bisa menyalahkan perkataan Somi. Tentu ia juga tidak menginginkan perjodohan ini. Harus meninggalkan Somi, wanita yang begitu dicintainya sejak lama hingga rasanya begitu sulit.

Namun, ada perusahaan keluarganya yang harus diselamatkan pula.

Sial.

Vernon mengembuskan napas kasar, lalu tahu-tahu menyahut, "Baiklah. Apa permintaanmu itu?

Bila Somi meminta sebuah ciuman atau pelukan terakhir, Vernon pasti tak akan segan memenuhinya. Bila Somi ingin menangis di dekapannya, ia akan menerima dengan sepenuh hati. Bila Somi mau kencan terakhir hari ini juga dan minta dibelikan barang-barang bermerk-kendati Vernon tahu itu bukan tipikal Somi sama sekali-Vernon tidak akan keberatan sama sekali.

Sungguh, Vernon mencintai Somi. Waktu-waktu yang tersisa, pasti akan ia gunakan sebaik mungkin sebelum ucapan sakral itu terlontar dari bibirnya. Apa pun permintaan itu, apa pun keinginan Somi, Vernon akan lakukan.

Ya, pasti.

.

.

.

"Bantu aku melupakanmu. Bisa?"

fin.
-oOo-

SEVENTEEN's OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang