Fluff, Slice of Life | G |1000+ words
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪
Tak perlu berpikir terlalu jauh, karena sesuatu yang rumit belum tentu penyelesaiannya rumit pula.-Wen Junhui-
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪Telah berapa menit terlewat hanya oleh keheningan, Jun tidak tahu. Ia juga tak mengerti sampai kapan ia harus duduk manis di samping sang sahabat yang berkunjung ke kediamannya tanpa melakukan apa pun.
Masalah tidak berada pada Jun, melainkan pada pemuda yang satu lagi, Minghao. Bahkan Jun sudah berusaha mengobrol, mencari bahan pembicaraan bahkan berceloteh sampai ia yakin bahwa ia akan membutuhkan obat sakit tenggorokan setelah ini. Tetapi yang didapatnya hanyalah sikap tak acuh milik Minghao.
Jun kebingungan lantaran seharusnya apabila Minghao yang datang, bukankah seharusnya pemuda itu yang memerlukan sesuatu? Kenapa juga harus Jun yang mencarikan topik berbincang? Memikirkannya membuat Jun merasa bodoh sendiri.
Akibat terlalu lama menilik perawakan Minghao yang sedari tadi hanya mengerang tak jelas sambil sesekali memijat pelipis, Jun tak tahan lagi dan akhirnya buka suara.
"Hei, Bung. Kau sedang punya masalah?" Karena respon yang diharapkan tak kunjung muncul, Jun kembali menyahut, "Oh ayolah, aku tidak sedang berbicara dengan angin."
Tentu Minghao tak ingin konflik bertambah panjang, maka Minghao memilih untuk menjawab, "Well, bisa dibilang begitu."
Diam-diam, dalam hati Jun muncul sedikit rasa ketertarikan. Jun menggeser kursinya mendekat, barangkali ia akan mendapat gelar sebagai orang bijak hari ini kalau saja Minghao bersedia menjadikan dirinya tempat kepercayaan berbagi keluh kesah.
"Memangnya ada apa? Siapa tahu aku bisa membantumu?"
Terjadi jeda beberapa sekon. Minghao membuang napas, kemudian menatap Jun dengan alis berkerut. "Ini soal Rie."
"Rie? Istrimu?"
"Bukan. Istrimu."
"Hei-"
"Memangnya kaupikir siapa lagi di sini yang namanya Rie, huh?"
Jun mencebik, namun pemuda itu juga tahu kalau sahabatnya sedang tidak dalam kondisi yang bisa dikatakan tenang. Salah bicara sedikit saja pada pria sensitif seperti Minghao, selesai sudah. Pada akhirnya, Jun memutuskan untuk mengalah ketimbang repot. "Baiklah, baiklah. Rie kenapa?"
"Akhir-akhir ini ... ia sering menangis diam-diam. Pernah sekali aku melihat Rie menangis setelah menelepon ayahnya. I think she's kind of homesick."
Minghao berpaling ke Jun. Namun, yang ada bukanlah wajah simpatik atau sejenisnya, melainkan usaha keras Jun menahan sembur tawa.
"Memangnya lucu?"
"Serius? Hanya itu?"
"Hei, 'hanya itu' katamu?" Suara Minghao meninggi, namun tetap tak dapat menghilangkan tawa geli Jun. "Kau tahu sudah berapa hari aku depresi karena masalah ini? Aku bahkan sudah gila karena bertanya pada makhluk-makhluk asing yang entah berasal dari planet antah-berantah mana layaknya Mingyu dan Seokmin, dan seperti yang seharusnya kusadari dari awal-mereka sama sekali tidak berguna."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN's Oneshots
Fiksi PenggemarA collection of Seventeen's ONESHOTS written in Bahasa. Please enjoy!💕 By Rosé Blanche ©2017