The Art of Being a Nurse [Jeonghan]

25 3 0
                                    

AU, Fluff, Historical, Slice of Life | G | 2500+ words
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪
Perhatian, penghiburan dan rasa nyaman. Bukankah itu yang terpenting?

-Catherine Hedley-
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪

Malam bertandang, dan kini tibalah giliran Catherine menjaga tenda.

Bagi gadis yang lebih sering dipanggil Cath itu sendiri, melakukan pekerjaan tersebut tidaklah mudah. Namun, kurun waktu sepuluh tahun telah membuatnya terbiasa.

Seringkali ia menetap di barak pengobatan, demi merawat para prajurit yang terluka serta menjaga mereka tiap malam. Itulah rutinitas Cath sejak umurnya menginjak lima belas tahun. Melihat luka yang menganga lebar tidak lagi menjadi hal yang mengerikan. Menyaksikan kematian seseorang terasa sudah biasa pula.

Hanya saja, ada yang berbeda hari ini.

Siang tadi, kawannya tiba-tiba saja masuk ke tenda sambil membopong seseorang. Bukan tubuh seorang sersan ataupun prajurit, namun hanyalah gadis kecil yang tak berdaya dengan darah mengucur di sekujur tubuh.

"Cepat, Cath! Siapkan perban dan obat-obatan. Gadis ini terluka parah!"

Bahkan otaknya tak dapat menerka sebab dari eksistensi seorang anak kecil di sana. Namun tetap, di antara sekian banyak tubuh yang terbaring lemah dalam tenda, Catherine hanya terfokus kepada satu insan. Seorang gadis bertubuh mungil yang berbaring di ujung, terlentang bersamaan dengan balutan perban di mana-mana.

Catherine menghela napas; tentu merasa iba. Seingat Cath, kawannya tadi mengatakan bahwa kemungkinan besar gadis kecil ini adalah putri dari seorang prajurit, entah siapa. Yang membuat Cath tak habis pikir, untuk apa seorang prajurit membawa putri kecilnya ke daerah perang yang sudah jelas sangat berbahaya?

Gadis itu kehilangan banyak darah dan terluka di bagian kaki; lebih tepatnya tertembak. Dua peluru menancap di betisnya, menghadirkan pemandangan yang begitu pedih bagi Cath. Kedua mata gadis itu juga tersayat, dan Cath rasa gadis itu akan jadi buta permanen. Di lehernya pun tertancap beberapa pecahan kaca yang membuat pita suaranya terluka kendati sedikit suara masih dapat diloloskan.

Karena saat gadis itu tiba di tenda tadi, ia terus menangis dan memanggil-manggil seseorang yang disebutnya sebagai 'Ayah'. Kedengarannya begitu miris di telinga Cath.

Sekali lagi Cath menghembuskan napas pelan sambil menepuk-nepuk bahu sang gadis, berusaha untuk menenangkan lantaran ini sudah saatnya untuk tidur. Mungkin gadis ini tak akan bertahan lama, tutur Cath dalam hati.

Bersamaan dengan saat itu pula, tiba-tiba saja tenda terbuka. Seorang pria yang masih berbalutkan seragam tentara menapakkan kaki masuk, dan saat itu pula kedua pasang mata tersebut bersitatap.

Namun hanya untuk sejenak, karena detik berikutnya kedua manik pria itu langsung tertuju pada si gadis kecil. Cath masih tetap diam, menunggu tindakan lanjut sang pria. Pria itu pun tak berkutik, masih terpaku. Melihat ke arah sang gadis kecil dalam keheningan, dengan pancaran hangat yang tersirat.

Detik itu pula, Cath menyadari satu hal.

Dengan tubuh setengah membungkuk, Cath mendekatkan mulutnya pada telinga si gadis kecil dan berbisik, "Bangunlah sebentar. Ayahmu telah datang."

Cath berdiri dan tersenyum pada sang pria muda, yang langsung dibalas oleh tubuh yang sedikit membungkuk untuk sekedar menyatakan rasa santun.

"Silakan, Tuan."

SEVENTEEN's OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang