Never Leave You [Joshua]

54 3 0
                                    

Fluff, Friendship, Hurt/Comfort | T | 1500+ words
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪
Satu hal yang dapat ia tangkap, gadis itu hanya takut kehilangan.

-Hong Jisoo-
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪

Banyak yang mengatakan, kalau persahabatan sejati di antara laki-laki dan perempuan itu tidak pernah ada.

Bohong kalau Jisoo peduli. Namun jika menilik dari masa-masa yang terlewat sepanjang setahun ini, mungkin ketidakpercayaan Jisoo akan kalimat itu perlahan akan sirna.

Memang, awalnya tidak ada apa-apa. Perkenalan kala itu pun biasa saja, sebuah hal yang wajar dilakukan antar teman satu kelas di sekolah dasar.

Namun, yang namanya perasaan itu bisa bermetamorfosis, kan?

Begitu pula Jisoo. Entah sejak kapan, perhatiannya tak pernah lepas dari si gadis pirang. Fokusnya seringkali enggan berpaling, terlebih-lebih bila sang gadis memasang wajah merenung atau berkonsentrasi.

Bahkan malaikat pun kalah cantik, pikir Jisoo. Belum kalau sebuah ulasan senyum sudah terukir di bibirnya, Jisoo tak dapat mengendalikan debaran itu.

Ah, Jisoo merasa hampir gila dibuatnya.

Baiklah, berteman dekat dengan seorang gadis itu hal biasa. Tertarik, menyukai, ataupun tergila-gila itu wajar. Namun, yang tidak wajar adalah ketika perasaan yang timbul itu merusak hubungan pertemanan mereka.

Well, mungkinkah?

“Jadi …, bagaimana?”

Setelah sekian lama hening tercipta, akhirnya Jisoo memutuskan bersua terlebih dulu. Memberi tatapan lurus pada sang gadis, yang hanya disambut oleh tertunduknya kepala dan mulut bungkam.

“Lu?”

Masih tak ada balasan.

Sebenarnya, inilah satu hal yang Jaeseok tidak sukai dari wanita. Mengapa harus selalu diam yang ia pasang?

Setahu Jisoo, diam wanita merupakan pertanda dua hal, jika ditilik dari pertanyaan yang ia sempat lontarkan. Wanita itu kurang memahami pertanyaannya, atau mungkin juga ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

Haruskah Jisoo memastikannya dengan bertanya ulang?

“Lu, biarkan aku bertanya sekali lagi, oke?” Tanpa menunggu jawaban karena Jisoo juga yakin itu adalah sebuah hal yang sia-sia, ia melanjutkan, “Kau memahami perasaanku, kan?”

Lucia mengangguk.

“Dan kau tentu juga tahu betapa Jeonghan menyukaimu, meskipun dalam hati kau tidak bisa menerimanya.”

Terjadi jeda sesaat, sebelum sekali lagi sang gadis termanggut-manggut.

Suara embusan napas berat seketika mendominasi, diikuti dengan kelopak yang terpejam sejenak.

Untuk beberapa saat, Jisoo kembali melempar tatapan pada Lucia, memakunya dalam sunyi walaupun pada nyatanya keadaan dalam kafe tidak sehening itu.

Apa ini karena suasana melankolis yang tahu-tahu tercipta, atau memang terasa demikian kalau berbicara berhadapan dengan wanita pujaan hati?

Oh, apa yang sebenarnya kau pikirkan ….

“Tetapi kau sendiri adalah teman dekat Jeonghan, haruskah kau melakukan semua ini?”

SEVENTEEN's OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang