Don't Cry [D.K]

41 9 0
                                    

AU!childhood, Family | G | 400+ words
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪
I'll give it to you.

-Lee Seokmin-
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪

Jika Seokmin menilik ke arah luar jendela, bisa dilihat kalau sang raja siang sedang terik-teriknya menyinari kota. Panas, sudah pasti. Tetapi, kepala Seokmin nampaknya terasa jauh lebih terbakar akibat setumpuk soal matematika yang sedari tadi tak kunjung tuntas.

Ditambah lagi, Lee Seomi—kembaran tersayangnya itu—kini tengah terlungkup di meja. Sesenggukan, terisak.

Oh, salahkan saja materi ujian besok yang terlampau sulit. Bahkan, jatah kursus tambahan mereka sudah kandas lima sesi hanya untuk membahas satu bab ini saja.

“Seomi ….”

Nada sang guru privat—Choi Seungyeon—ketika memanggil, membuat Seokmin tersadar bahwa wanita itu juga khawatir. Bukan hanya mereka yang kelelahan, guru mereka juga.

Seokmin paham betul bahwa Kak Seungyeon sudah cukup kesal, mengingat selama ini pastilah omelannya akan berkoar jika mereka berdua lamban dalam memahami atau pun jika nilai mereka tak mencapai target.

Tetapi, kalau Seomi sudah begini, pasti rasa kasihan lebih menguasai ketimbang sifat cerewetnya, bukan?

“Ayolah, Seomi. Tidak apa-apa, kakak ajari dari awal saja, ya?”

Benar-benar berubah drastis, seperti singa betina yang bertransformasi jadi kucing, pikir Seokmin.

Sebenarnya Seokmin juga mengerti mengapa Seomi menangis. Entah apa yang terjadi pada gadis itu atau memang karena guru yang keterlaluan dalam memberi materi, tetapi sedari kemarin gadis itu tak dapat mengerjakan satu soal pun tanpa bantuan dari Kak Seungyeon.

Seomi yang biasa dikenal sebagai juara kelas tetap—wajar saja kalau ia panik begitu. Berbeda dari Seokmin yang tak terlalu peduli. Kalau bisa syukur, kalau tidak ya sudah.

“Ya ampun, Seomi. Berhenti menangis, tolonglah ....”

Akhirnya, kata-kata tersebut terlontar juga dari mulut Seokmin, akibat tak tahan dengan suara tangis yang sedari tadi memenuhi ruang.

Padahal sejak awal kursus dimulai, hanya Seomi-lah yang menjadi fokus guru mereka. Seokmin sudah berkorban—menjadi tak teracuhkan oleh Kak Seungyeon—dan hasilnya masih seperti ini. Sia-sia.

“Baiklah kalau begitu.” Seokmin lekas merapikan tumpukan kertas, serta meraih semua peralatan tulisnya yang tercecer di meja.

“Seokmin, kau mau ke mana?”

“Hari ini kursusku sampai di sini saja, Kak. Sisa jatahku semuanya berikan ke Seomi saja.”

Bersamaan dengan saat itu, Seokmin menyenggol lengan sang kembaran. “Sudah, jangan menangis terus. Hati-hati nanti ilmunya ikut keluar semua sama air matamu, loh.”

Kini, Seokmin telah melangkahkan tungkainya ke pintu, tak memedulikan lagi soal ulangan matematika yang ada menanti besok. Bagi Seokmin, mendapatkan nilai jelek mungkin sama sekali bukan masalah, namun tidak demikian bagi Lee Seomi.

Jika memang harus seperti ini, maka Seokmin akan mengalah. Tak mengapa bila ia yang mendapat nilai buruk, tetapi jangan Seomi.

Ia hanya bisa berharap dengan memberikan jatah kursusnya, Seomi dapat memperoleh nilai maksimal.

Itu akan lebih baik, daripada minggu depan ia dan Seomi berdua harus mendapati kertas ujian mereka yang dikembalikan dengan banyak coretan pulpen merah.

“Ah, aku lupa satu hal.”

Seokmin tiba-tiba berbalik seusai membuka knop pintu, baru saja mengingat satu hal yang terlewat. Sambil mengulas sebuah cengir lebar, Seokmin berucap,

“Kak, nanti kalau sudah waktunya remedial, jatah kursus Seomi buatku saja, ya?”

fin.
-oOo-

SEVENTEEN's OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang