Fluff, Hurt/Comfort, Slice of Life | T | 1100+ words
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪
I'll wait.-Kim Mingyu-
▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪Kata orang, menunggu adalah hal yang paling menyebalkan di dunia. Butuh kesabaran ekstra, terlebih kalau hal yang ditunggu tak kunjung memberi respons baik. Intinya, sebuah penantian yang terkadang sudah susah payah dilakukan, punya kemungkinan berujung pada kesia-siaan.
Bahkan untuk sekadar bersabar pun ada rintangannya, entah cobaan faktor luar atau internal yang mampu membuat otak terasa hampir gila. Memperkukuh sebuah harap agar suatu saat nanti yang ditunggu akan menghadap balik. Sayangnya, kata 'nanti' itu pun tak punya signifikansi yang jelas.
Memangnya 'nanti' itu kapan?
Pepatah mengatakan, hanya Tuhan yang tahu.
Sebenarnya, ini semua tentang gadis itu. Sang manajer basket yang setiap minggu dengan sukarelanya membawa setumpuk seragam penuh keringat anak-anak klub ke tempat laundry, membereskan peralatan mereka usai berlatih, juga repot-repot memberi kecaman pada anggota yang tidak disiplin satu persatu.
Tidak ada yang mengatakan tugasnya merupakan perihal gampang. Tapi rupanya ia tidak keberatan, secara aku juga baru tahu kalau gelutan pekerjaannya itu dapat terbayar oleh atensi Jang Doyoon.
Ah, benar-benar.
"Seragam jerseymu mana? Cepat kemarikan, hari ini aku buru-buru."
Aku yang sudah tak punya niatan beranjak usai latihan, hanya bisa terduduk di sudut lapangan yang sudah sepi sambil meluruskan kaki. Entah memang pelatihan yang hari ini lebih berat dari biasanya, atau karena segala kalut yang berhasil menyita pikiranku sejak kemarin?
Entahlah, yang jelas kini di hadapanku tengah berdiri sosok gadis bermandikan siluet senja, dan dapat memandanginya saja sudah membuatku merasa lebih baik.
"Hei, dengar tidak?!"
Sebuah decakan lolos dari bibirku. Spontan tanganku meraih jersey yang sudah basah total akibat keringat itu dan lekas melemparnya pada-
Oh, tidak.
"KENAPA HARUS KAULEMPAR KE MUKAKU, HUH?!"
Jujur aku tidak sengaja, tetapi pada akhirnya aku pun membalas, "Salah sendiri pendek."
Berang itu sangat jelas terpatri, namun bungkam rupanya menjadi pilihan. Sebuah dengus sebal pun lolos seiring dengan tangannya yang memasukkan jerseyku pada sebuah kantung besar. Sambil menjinjing kantung hitam itu, tungkainya melangkah berbalik, diikuti dengan lontaran lirikan tajam yang mampu membunuh siapa pun.
Siapa pun terkecuali diriku, karena faktanya perasaan geli yang menggelitik hati ini tak pernah tertahankan kerap kali melihat gadis itu merajuk.
"Oi, pendek! Seisi lapangan belum kaubereskan, kenapa sudah mau pulang?"
Tanpa kusangka ia membanting kantung besar itu di dekat ring, kemudian kembali menatapku malas untuk beberapa sekon. Setelahnya, barulah ia memunguti bola-bola yang tergeletak di sana-sini.
"Panggil Yunha saja tidak bisa, ya? Ini aku juga baru mau bersihkan, dasar sok tahu!"
Kini kedua tangannya telah menenteng tiga bola sekaligus, lalu dilanjutkan dengan tungkai yang melangkah masuk ke gudang peralatan olahraga. Entah dari mana, tahu-tahu sebuah insting datang dan membuatku mengambil keputusan untuk membuntuti Yunha.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN's Oneshots
FanficA collection of Seventeen's ONESHOTS written in Bahasa. Please enjoy!💕 By Rosé Blanche ©2017