🎑 k e s e m b i l a n b e l a s

549 34 2
                                    

Manusia dan Rasa Sakit

.

"Kak Fairel ingat 'kan? Dia Erlangga, teman masa kecil kita. Rencananya kami akan mengunjungi makam Velyn bersama kak Fizar nanti, kau mau ikut?" Fairel memicing melihat Ferniza dan Erlangga dihadapannya. Ia menggenggam tangan Feyla erat lalu keluar cafe tanpa mempedulikan mereka yang menghalangi jalan.

"Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya." ujar Erlangga membuat mereka berdua sejenak berhenti.

"Tadi sudah kukatakan untuk tidak menyakiti dia, dan sekarang kau melakukan apa yang sudah kularang, jadi apa lagi yang perlu kau jelaskan padaku?" Fairel mengangkat alisnya dengan jelas ekspresinya sudah sangat ingin menghabisi Erlangga.

"Aku baru bertemu dengannya satu kali, jadi ini hanya kebetulan aku bertemu dengan kalian."

"Apanya yang baru bertemu dengannya jika kau langsung memanggil jalang itu dengan sebutan 'sayang'?" Fairel mendekat kearah Erlangga sampai jarak dari mereka sangat dekat. Tangan Fairel mengepal sampai buku-bukunya memutih.

"Jangan panggil Ferniza dengan sebutan itu, Fairel. Dia sudah datang jauh-jauh hanya ingin bertemu dengan sepupunya dan melepas rindu dengan kalian!" Feyla menarik tangan Fairel agar menjauh dari Erlangga. "Kau pun sama Feyla. Dengarkan penjelasanku!"

"Tidak ada yang perlu kau jelaskan. Kau mencintainya 'kan? Ya sudah. Kuanggap itu sebagai pernyataan hubungan ini berakhir." Erlangga berjalan mendekati Feyla dan hendak menggenggam tangannya tapi segera Fairel tepis.

"Jangan menyentuhnya. Dari jauh-jauh hari aku meperingatkanmu untuk berhati-hati agar hal ini tidak terjadi." ujar Fairel.

"Ini semua tidak akan terjadi karena permainanmu, Fairel!" Erlangga berbicara seraya menunjuk Fairel dengan jari telunjuknya.

"Dan tidak akan terjadi apabila kau tak mengikuti permainanku. Ayo pulang, Feli." Fairel membawa jauh Feyla darisana dan masuk kedalam mobil bersama-sama.

Feyla terdiam memandangi jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan yang dia naiki sambil terus berusaha untuk tidak meruntuhkan pertahanan agar pandangannya tak memudar.

"Kau baik-baik saja?" tanya Fairel seraya melihat kearah kaca spion tengah.

"Iya, begitulah." jawab Feyla singkat. Fairel menepikan mobilnya dan berhenti begitu ia menemukan tempat dengan dataran tinggi. Ia keluar dari tempatnya dan menyuruh Feyla keluar juga hanya untuk sekedar mendapat angin segar. Mereka berdiri berdampingan sambil menyaksikan keramaian kota dari atas dengan angin berembus melewati mereka. "Boleh aku bercerita?" tanya Feyla seraya menggenggam tangannya sendiri lalu ia dekatkan pada dagunya. Fairel bergumam menjawab. "Dibanding kedua orang tuaku yang meninggalkanku, ini adalah kali pertama aku merasakan hal yang sama selain karena alasan tersebut."

"Aku pun sama." ujar Fairel pelan. Feyla menoleh dan memandang Fairel yang sedang menatap lurus kedepan. "Sejauh ini aku belum pernah merasakan hal itu selain karena keluargaku. Tapi kali ini, temanku lah yang alasannya."

"Kenapa bisa?"

"Aku sudah memperingatkannya. Tapi dia membuatku kecewa dan jelasnya aku merasakan hal yang sama denganmu." Fairel menelusupkan kedua tangannya kedalam saku jaket miliknya. Feyla melepas genggaman itu lalu meremas pakaiannya sendiri dengan erat. Secara perlahan manik coklat hazel itu timbul kaca-kaca bening. Mau bagaimana ia bertahan tapi tetap saja ia tak mampu menahannya. Dalam dirinya seakan meledak. Meleburkan keinginan untuk tetap berdiri namun itu hanya membuatnya semakin sakit, sebuah kemungkinan yang terus ditipu oleh omong kosong semata.

senja setelah fatamorgana 。[✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang