🎑 k e e m p a t p u l u h

347 30 3
                                    

40
Pelipurnya

Sinar matahari mulai meredup begitu pula anginnya yang ikut mendingin. Namun masih ada sisa-sisa cahayanya yang orang lain sebut sebagai senja. Jika dia muncul, pertanda bahwa hari akan berganti.

Beberapa dari orang-orang yang beraktivitas, mulai menunjukan kepulangannya ke rumah, dan menikmati waktu istirahat bersama keluarga. Di pusat kota kadang ada kemacetan berhubung semua aktivitas manusia selesai pada sore hari. Tapi itu tidak menyulitkan seorang pemuda dengan mobil yang dibawanya saat ini. Demi mengetahui sesuatu, ia rela menggerakan langkahnya yang seringkali selalu malas dilakukan hanya untuk menemui seseorang. Dia mendecih kesal ketika ternyata dia terjebak di kemacetan itu.

"Sialan."

Meski begitu dia berusaha untuk tenang. Tidak sampai sepuluh menit, kemacetan berakhir dengan dia yang sudah memarkirkan mobilnya dihadapan cafe ramai pengunjung. Ponselnya berbunyi, sejenak ia membaca pesan singkat.

'Aku berada di meja nomor lima'

Setelahnya, pemuda bernamakan Fairel tersebut melangkah pelan memasuki cafe. Iris matanya sedikit mengedar demi menemukan kursi yang dikatakan pesan tadi. Pandangannya pun terjatuh pada seseorang yang sedang duduk mengenakan pakaian santai dengan hoodie putih polosnya, tentu berada pada meja bernomorkan lima. Fairel menghampirinya lalu segera direspon oleh seseorang tadi dengan senyuman kecil.

"Selamat sore, tuan. Silakan duduk."


- w -

Feyla menggigit bibir bawahnya. Cukup gelisah. Karena tuannya masih belum pulang juga meski jam sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Tangannya menggenggam handphone yang ia dekatkan pada telinga kanannya.

"Halo, elga?"

"Iya, halo Fey. Ada apa?"

"Fairel masih ada disana? Kenapa dia masih belum pulang?"

"Ha, kukira dia sudah disana. Tigapuluh menit yang lalu dia barusaja pamit pulang ke rumah."

"Duh, dia kemana ya? Ayah dan ibunya sebentar lagi akan pulang, aku khawatir kalau dia akan dimarahi karena tidak pulang selama satu hari." Feyla semakin gelisah.

"Tapi, sebelum dia pamit, dia bilang dia harus menemui seseorang terlebih dahulu. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud."

"Oh benarkah, ga? Lalu dia mengatakan apa lagi padamu?"

"Tidak ada, hanya itu. Tapi aku yakin dia hanya bertemu temannya sebentar, selepas itu pulang ke rumah." kegelisahan Feyla perlahan mereda. Berganti dengan kelegaan.

"Baiklah, kuharap seperti itu. Terimakasih banyak, ga."

"Iya, Fey."

Feyla mengusap dadanya perlahan. Lega, meski masih khawatir. Tapi setidaknya pemberitahuan dari Erlangga lumayan bisa menenangkannya. Fairel bukanlah sesuatu yang harus di khawatirkan, dia pintar, cerdas, dan yakin kalau ada masalah pasti bisa dia selesaikan. Tapi Feyla meragukan hal itu. Mungkin karena hidup seatap, Feyla semakin tahu apa kelemahannya, kelebihannya dan hal-hal yang tidak orang lain tahu tentang dia. Baru kali ini, Feyla merasa sekhawatir ini pada orang lain, padahal Fairel tidak memunculkan batang hidungnya saja baru satu hari.

Feyla memejamkan matanya sejenak demi menghilangkan kekhawatirannya yang cukup berlebih. Dan selama satu menit terpejam, tiba-tiba saja dia mendengar deru mobil yang masuk kedalam pekarangan rumah diikuti pintu utama terbuka oleh seseorang, matanya terbuka. Feyla dapat mendengar juga derap langkah cepat yang semakin kemari mendekati kamarnya. Ia segera berbalik kebelakang, melihat pintu kamarnya yang berjarak dua meter.

Dengan gerakan cepat, pintu kamar terbuka lebar oleh seorang figur laki-laki yang barusaja kembali setelah meninggalkan rumah selama pergantian matahari.

"Tuan Fairel?"

Dia, Fairel. Dengan kedua mata yang berkaca-kaca, ia berlari menuju Feyla lalu segera menarik gadis itu kedalam pelukannya yang menghangatkan. Bahunya yang lebar mampu membungkus wanita itu sepenuhnya. Feyla terkejut mendapati pelukan mendadak dari Fairel, ia juga kebingungan. Fairel menyimpan kepalanya diatas bahu Feyla sebelah kanan, ia menangis sejadinya seraya semakin erat memeluknya. Feyla lebih terkejut ketika Fairel ternyata menangis di bahunya sendiri.

"Tuan Fairel, ada apa?"

"Bisakah kita menghabiskan waktu berdua saja malam ini?"

"Eh? M-maksudmu, tuan?" Fairel dengan pelan mengendurkan pelukannya, ia pun terlepas dari gadis tersebut. Meski pelukanya tidak berlangsung lama, tapi itu cukup untuk menjadi pelipur rindu Feyla. Hati Fairel pun sudah lumayan tenang, meski masih terdengar isakan kecil dari bibirnya. Fairel menggenggam kedua tangan Feyla lembut. Gadis dengan aroma cherry itu dengan otomatis menatap kedua mata onyx kelam dihadapannya yang terlihat sendu. Fairel mengangkat senyumnya perlahan.

"Aku merindukanmu. Ayo kita berbicara banyak hal malam ini."

Walau tidak tahu apa yang terjadi pada pemuda itu, Feyla berusaha untuk tidak berpikiran buruk. Mungkin Fairel hanya 'benar-benar' merindukannya saja.

- TO BE CONTINUED -

A/N. Assalamualaikum, halo reader. Pendek ya buat chapter ini? Hehe maaf, seharusnya chapter ini masuk ke chapter sebelumnya, tapi ketinggalan 😂 gapapa ya, pelengkap saja. Gimana, tau ga apa yang dibicarakan Farsha? 😂 kalo tahu, jangan kasih tau yang lain ya, nanti spoiler 😂

Seperti itu saja.
Ada yang berkesan di chapter ini? Klik tombol vote yaa! 🌟

senja setelah fatamorgana 。[✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang