Tujuh Belas: Pertanda

5.8K 449 33
                                    

Well, surpriseeeee!!!!
Ada yang nge-dm wkwkwk, bilangnya gini "sering-sering surprise update dong kaa!" Terus ada yang bilang "Part-nya sedikit bangeeet. Well done yaaaa, part 17 updated! Maaf kalo ga jelas yang ini:')) enjoy!

---

Sore itu, aku sedang bermain basket di tepi dermaga bersama prajurit yang lain. Sore itu tidak terlalu panas sekali. Kami pun bermain basket disekitaran tumpukan kontainer. Kami saling tertawa bermain basket.

“Gooooool!” teriakku sambil berlari-lari saat aku berhasil memasukkan bola ke dalam keranjang basket.

“Lu pikir lagi main bola?” komentar Affandi sambil menjitak kepalaku.

“Lah, basket tuh bola coy.” kataku sambil tertawa, “Bodo amat, pokoknya gol!”

Setelah selesai bermain bersama-sama. Aku segera duduk di tepi dermaga. Menatap lautan Mediterania yang luas. Menyendiri dengan tatapan mata yang menghunus tajam hingga cakrawala. Kedua kakiku menggantung di tepi dermaga.

***

“Kamu masih betah kan sama aku?”

“Masih,” ia terdiam sejenak, “Kata Bunda ini tantangan baru buat aku. Aku ngelakuin ini karena Aku udah nyaman sama kamu. Aku enggak mau kehilangan kamu. Cukup dari sini, aku berhubungan jarak jauh sama kamu, mulai dari sini aku belajar dari arti sebuah kesetiaan.”

“Dara, kalau Dika lulus, terus kalau Dika dapet tugas buat misi perdamaian dunia, Dara mau enggak ngelepas Dika pergi dan nunggu Dika sampai pulang?”

“Kamu sekarang bukan sepenuhnya milikku, tapi kamu sekarang sepenuhnya milik Negara. Aku hanya bisa nunggu, nunggu, dan nunggu kamu pulang penugasan. Bukan berarti aku enggak sayang sama kamu. Tapi, sudah waktunya aku berpikir realistis kalau kamu jadi seorang tentara dan harus mau ditempatkan kerja di mana aja, sebagai seorang abdi negara.”

“Dan satu hal lagi. Bagaimana kalau Dika ditugaskan di tempat dalam kondisi peperangan dan penuh marabahaya, tetapi Dika gugur nggak kembali. Apakah Dara tetap sayang Dika?”

Ia terdiam, “Aku nggak pernah punya pikiran seperti itu. Aku akan mendoakan yang terbaik saat kamu lagi jauh dariku. Dan aku mengharapkanmu untuk kembali dan bisa peluk aku lagi.”

Aku tersenyum seraya memeluknya. Air mataku tiba-tiba terjatuh membasahi bahunya. Aku merasa menjadi seorang taruna yang cengeng, “Dika janji akan selalu ada untuk Dara. Mungkin jarak lah yang bisa memisahkan kita, tetapi aku yakin, doa kita pasti akan menyatu. Sampai kapan pun, Dika tetap sayang sama Dara.”

“Dika, terima kasih udah ngajarin Dara untuk selalu setia, untuk selalu mandiri, untuk selalu percaya, dan selalu tegar untuk menghadapi kenyataan dan tantangan baru bagi Dara. Karena Dika, Dara bisa lebih fokus ke pendidikan Dara. Terima kasih atas semua semangatnya, Dara sayang sama Dika.”

***

Aku terlempar pada masa itu. Masa di mana aku masih menjadi seorang taruna. Kami berdiri bersama di Dermaga Halong, dermaga yang bagiku penuh dengan kenangan. Aku bergandengan dengan Dara, menatap laut di sore hari yang indah. Aku merindukan masa-masa itu.

Kenangan itu masih terpatri jelas dalam benakku. Aku tidak bisa menghapus semua kenangan indah itu. Mengenang di saat tanganku menggenggam tangannya. Aku sangat merindukan masa-masa itu.
Suatu sore di dermaga Halong, ia mengatakan bahwa ia akan setia menunggu. Semua itu hanyalah sebuah kenangan, kenangan masa-masa indah yang berujung pahit.

“Dika, fokus!” aku menampar pipiku sendiri. Ak langsung berdiri dan memasuki kapal. Aku tidak mengingat-ingat semua ini saat aku masih bertugas!

SANDARANDIKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang