Empat: Terlambat

5.9K 474 25
                                    

Hari Rabu, ayeeee! Siapa nihhh yang kangen sama Dika sama Dara?

Hmm, judulnya terlambat, bukan berarti Dara terlambat datang bulan ya😄 *digeplak Dika

Sooooooo, enjoooooy!

***

Surabaya siang ini cukup terik. Embusan angin laut tidak terlalu terasa. Apalagi ditambah seragam lengkap pakaian loreng gurun dan baret berwarna biru muda. Aku berdiri berlipat tangan di depan kapal sebelum apel keberangkatanku ke Jakarta sementara.

Aku berjalan agak menepi mendapatkan tempat yang sedikit teduh. Di sini banyak yang berseragam sepertiku. Ada yang sedang akan saling bercanda dengan sanak saudaranya. Ada yang saling melepas kerinduan. Ada yang pacarnya rela jauh-jauh datang ke Surabaya demi bertemu dengan kekasihnya. Saling memeluk anak-anaknya atau istrinya, bahkan sang istri ada yang rela ditinggal saat sedang mengandung.

Aku melihat beberapa teman-teman satu angkatanku dan beberapa seniorku yang berangkat ke Lebanon tahun ini. Mereka sedang sibuk dengan keluarganya masing-masing. Aku mengganggu waktu mereka yang terbatas pun juga tidak mungkin. Yah, menikmati sendiri aja lah.

Aku hanya berdiri menghadap lautan di bawah pohon rindang. Tidak ada siapa-siapa yang rela terbang untuk menemuiku di sini. Papa otomatis kerja, Mama di rumah sambil nonton drama India yang nggak bisa diganggu gugat acaranya, Ratih kuliah, bahkan pun aku tidak punya sanak keluarga di Surabaya. Dara pun pasti jelas sibuk mengurusi rekap nilai di hari Sabtu. Ia tidak mungkin berada di sini, walaupun aku mengharapkan ia menengokku di sini.

Ah, sudahlah, bertemu di Jakarta bisa. Batinku.

Lagian aku juga tidak berharap lebih kalau Dara bakal datang di Surabaya seperti kejadian ulang tahunku semasa aku jadi taruna. Tiba-tiba ia datang memelukku dari belakang setelah sekian lama tak memberi kabar untukku. Ini lain, ia sudah bekerja. Ia jelas memprioritaskan pekerjaannya daripada aku yang baginya seperti remahan kerupuk udang.

Aku mencoba untuk menelpon Dara. Kupastikan siang-siang begini ia sedang waktunya istirahat makan siang. Tetapi, sama sekali tidak diangkat. Ah, mungkin ia benar-benar sibuk.

'Aku bakal berangkat setelah ini. I love you.' tulisku di layar ponselku dan kulayangkan padanya.

Aku melihat seorang sersan yang sedang menggendong anaknya yang tak rela ditinggal pergi sampai menangis menjerit-jerit seperti itu. Sang istri sedang mengandung besar. Aku tersenyum, dan menghampiri adik kecil itu.

"Lho, lho, kok nangis?" tanyaku saat menghampirinya. Sang ayah tersenyum.

"Nggak mau ditinggal." kata Ayahnya sambil tersenyum.

Aku tersenyum sambil mencubiti gemas pipinya yang menggembung itu. Derai air mata tak henti-hentinya keluar dari kelopak matanya, "Ayo, sini sama Om."

Anak gadis itu tangannya menegadah ke arahku. Aku langsung menggendongnya dan membuatnya tenang, "Umur berapa ini, Pak?"

"Umur empat tahun." ayahnya tersenyum.

"Namanya siapa?" tanyaku kepada anak kecil itu. Ia masih terdiam.

"Kakak, ditanyai lho, namanya siapa?" tanya sang Bunda.

"Vila."

"Vira, Om." Bundanya membenarkan.

"Sekolah di mana?" tanyaku lagi.

"Deket rumah."

Mendengar jawaban itu, rasanya ingin tertawa ngakak sengakak-ngakaknya. Aku langsung menahan tawaku sementara Ayah dan Bundanya tergelak tawa. Anak gadis itu meminta digendong lagi oleh Ayahnya, aku memberikannya kepada Ayahnya.

SANDARANDIKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang