"Bunda, tapi ini impian Raisya. Please Bun, biarin Raisya kuliah di sana."
Raisya memijit pelipisnya yang sedikit pusing karena pembicaraan satu jam lalu dengan Ariana tidak kunjung selesai. Ariana benar tidak mengizinkannya kuliah di kampus yang ia impikan dari dulu, padahal itu adalah harapannya."Raisya, lingkungan di luar nggak semudah yang kamu bayangkan. Kamu baru hijrah, gimana kalau kamu nanti malah kebawa?"
"Ayolah Bunda, Raisya bisa jaga diri."
"Bunda nggak yakin. Di sana nggak ada keluarga kita, kalau ada Bunda pasti ngizinin kamu," kata Ariana, lalu beranjak menuju dapur untuk mengambil minuman, meninggalkan Raisya yang kini menghela napas berat.
"Bunda ...." Raisya berdiri mengikuti Ariana, namun, baru satu langkah dia mendapat tatapan maut dan ucapan tegas dari Ariana.
"Raisya!"
Sebulir air mata jatuh membasahi pipi Raisya. Sudah sepuluh kali dia meyakinkan Ariana, tapi, Ariana tetap tidak mengizinkannya. Padahal ini sudah menjadi cita-citanya dari dulu. Rasanya begitu sakit ketika harapan ini harus Raisya kubur hidup-hidup, kesempatan emas yang ia dapatkan tidak mungkin dilepasnya begitu saja.
"Udah, Kak, di sini aja. Nurut!" Adam- saudara Raisya satu-satunya mengangkat suara, dia menduduki diri di sofa sambil menatap jengah Raisya yang sejak kemarin tidak berhenti memohon kepada Ariana.
"Bantuin, Dam, bukannya larang," serunya menghapus cepat air matanya.
"Ogah! Nggak mau kena marah sama Bunda."
Raisya memasang wajah kesal "Nggak berperikesaudaraan!" Adam mencebik, Raisya sudah berlalu menghampiri Dimas yang sibuk membaca buku di ruang keluarga.
"Ayah." Raisya duduk tepat di samping Dimas. Ia akan membujuk Dimas jika tidak bisa langsung ke Ariana.
"Kenapa?" Suara Raisya yang terdengar memohon belas kasihan membuat Dimas menoleh ke arah putrinya, meninggalkan bacaan sebentar.
"Bantuin Raisya."
Dimas menghela napas kecil, seolah mengerti maksud Raisya. Ia meletakan bukunya di atas meja, kembali menatap putrinya yang memasang wajah memelas.
"Yah?" desak Raisya. Ia bahkan sudah menangis lagi agar Dimas mau mengabulkan permintaannya, bahkan bisa membujuk Ariana dan mengizinkannya.
"Kamu beneran ingin kuliah di sana?" tanya Dimas akhirnya. Raisya mengangguk cepat.
"Ayah!"
Keduanya sama-sama menoleh pada Ariana yang baru datang menghantarkan minuman untuk Dimas. Ariana menatap mata Dimas seolah mengisyaratkan untuk menolak.
"Raisya cuma pengen kuliah di sana, Bun," lirih Raisya mengembuskan napas berat.
"Udah Bunda bilang, 'kan, Raisya."
Kali ini Raisya tidak bisa menahan gumpalan air di pelupuk matanya, ia menangis.
"Biarin Ayah sama Bunda diskusi sebentar." Dimas yang iba melihat putrinya akhirnya bersuara. Dimas kembali menatap Ariana yang langsung menatapnya dengan sorotan tidak setuju.
"Sebentar aja Ariana." Dimas menatap dalam istrinya. Ariana menghela napas, hingga akhirnya mengangguk. Setelah meletakan secangkir minuman di atas meja. Ariana berjalan menyusul Dimas ke kamar. Sedang Raisya duduk penuh harap.
Sudah lima menit berlalu entah kenapa begitu lama bagi Raisya. Kakinya bergerak tidak tenang menunggu pintu kamar yang terbuka, sering kali ia menoleh melihat pintu kamar yang masih tertutup. Di menit ke sepuluh mata Raisya berbinar Ariana dan Dimas sudah keluar. Semoga saja ada kabar baik Ariana mengizinkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SYAQIL (Kuliah Tapi Nikah) || TERBIT✓
Teen FictionTerbit di Cloudbookspublishing Sudah tersedia di Gramedia dan Toko Buku Online Raisya Alika Putri, gadis yang tidak pernah menginginkan nikah muda namun terpaksa melakukannya demi cita-cita. Dia harus menerima persyaratan nikah muda demi bisa kulia...