Waktu yang menunjukkan setengah enam sore membuat Aqil menatap jam dinding. Seharusnya jam lima ini Raisya sudah di rumah, namun ia tidak kunjung mendapati Raisya yang pulang.
Diam-diam Aqil begitu khawatir. Mendiami Raisya bukan berarti Aqil benci, tapi hanya mengajarkan supaya tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama atau setidaknya Raisya bisa menghargainya.
Melihat derasnya hujan membuat Aqil kembali menatap jam dinding. Semarah apapun Aqil kepada Raisya nyatanya ia begitu peduli dan cemas. Aqil menyambar jaket dan kunci mobil, memilih menyusul untuk menjemput Raisya ke kampus- hal pertama yang menjadi tujuannya. Sudah dipastikan jam seperti ini tidak ada angkot, jika sudah di angkot pun Aqil sudah hafal jam berapa Raisya harusnya sampai rumah.
Dibalik kaca Aqil menyisir sepanjang jalan dan halte, ia mencoba mencari Raisya namun tidak ia temukan. Aqil memilih membawa mobilnya ke kampus, berniat mencari ke dalam namun tidak ia temukan. Aqil berpikir sebentar, memikirkan di mana kira-kira Raisya berada.
Taman?
Aqil sejujurnya tidak yakin, karena saat ini hari hujan. Namun ia tetap memilih mencari di sana.
Sudah menanyakan keberadaan Raisya kepada Khansa, Khansa bilang tidak tahu dan terlihat cuek bebek.Sampai di taman, Aqil mendapati seseorang yang tengah duduk di kursi dengan memeluk lutut. Langkahnya nendekat dan begitu menatap jelas baju dan jilbab yang Raisya gunakan tadi pagi, wajah Aqil langsung berubah dingin.
Apa Raisya harus seperti ini, bela-belain hujanan dan menunggu dijemput agar ia bisa memaafkan?
Aqil berdecak. Bukankah itu terlalu kekanak-kanakan?"Nggak perlu hujan-hujanan biar gue maafin." seru Aqil tidak suka. Ia melihat Raisya yang basah kuyup dan membuatnya memayungkan Raisya agar tidak basah lagi masih dengan sorot tajam.
"Raisya nggak hujan-hujanan biar Kak Aqil maafin Raisya, tapi Raisya-"
"Pulang!" kata Aqil tidak suka.
"Kak Aqil ..." Raisya terisak. "Kenapa Kak Aqil masih nggak maafin Raisya?" Suara Raisya bergetar. Raisya kini sudah beranjak dari duduknya dan berdiri dihadapan Aqil dengan sendu.
"Pulang sekarang," suruh Aqil menurunkan tinggi suaranya. Aqil membalikan badan, namun tidak ada jawaban dari Raisya. Ia hanya mendengar suara tangisan setelahnya karena hujan yang tepat sudah tidak deras lagi.
"Kak Aqil tau nggak sih apa yang Raisya dapatin di kampus?" Lirihan yang terdengar jelas membuat Aqil terdiam.
"Raisya dihujat, Raisya dimusuhi, Raisya dipermaluin. Hati Raisya sakit Kak Aqil. Raisya dibully." Raisya menggigit bibirnya menahan tangis yang ingin tumpah. Semuanya kembali terasa sesak saat mengatakannya.
Aqil kaget sekaligus marah begitu mendengar penuturan Raisya, ia langsung membalikan badan dan seketika mendapati Raisya yang kini sudah menangis. Entah karena tadi hari hujan, yang jelas kini melihat mata sembap Raisya.
Jadi apa Raisya di sini karena hal itu? Rasa bersalah langsung muncul di hati Aqil. Seiring itu bibirnya terkatup menahan marah mendengar ucapan Raisya yang dipermalukan, dihujat dan dimusuhi.
Aqil langsung mendekat dan memegang bahu Raisya dengan sedikit menunduk sering air mata yang kembali turun cepat.
"Katanya Kak Aqil mau lindungin Raisya?" suara Raisya bergetar, membuat rasa bersalah menggerogoti hati Aqil.
Apa dia terlalu cuek hingga tidak tahu apa yang terjadi pada Raisya di kampus?
"Raisya tadi dipermaluin. Raisya disandung, Raisya diketawain sama mereka, Raisya ..." Raisya tidak bisa lagi melanjutkan ucapannya, ia menangis terisak yang membuat Aqil sangat tidak tega dan membawa tubuh Raisya kedinginan ke dalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SYAQIL (Kuliah Tapi Nikah) || TERBIT✓
Fiksi RemajaTerbit di Cloudbookspublishing Sudah tersedia di Gramedia dan Toko Buku Online Raisya Alika Putri, gadis yang tidak pernah menginginkan nikah muda namun terpaksa melakukannya demi cita-cita. Dia harus menerima persyaratan nikah muda demi bisa kulia...