Kenyataannya adalah harus ada yang mengalah. Kenyataannya adalah pasti ada yang merasa bersalah. Dan pada akhirnya adalah pasti ada yang merasa terluka, Walau tak mengeluarkan darah.
Itulah hidup.***
Pagi menyapa dengan banyaknya sinar yang mulai memaksa masuk melewati jendela kamarku."Mah, Nadia berang.." kataku yang terpotong ketika melihat Yusuf sedang duduk bersama Papa diruang makan.
"Sini sarapan dulu." ajak Papa padaku.
"Ah, hah? Iya Pah." kataku yang setengah sadar, karena bingung harus bilang apa pada Yusuf tentang kejadian kemarin.
"Nah gitu dong, sarapan bareng. Hahaha, Papa suka deh ngeliat kalian berdua." jawab Papa dengan iringan tawa.
Aku tidak merespon, Yusuf pun tidak. Entah kenapa tapi aku merasa ada sesuatu yang membuat situasi disini menjadi canggung dan aneh.
Selesai sarapan bersama aku dan Yusuf pun pamit untuk berangkat sekolah.
Selama perjalanan menuju sekolah dia tidak membahas tentang kejadian kemarin, sama sekali. Dan aku yang tidak mencoba untuk mengungkit pun, menjadi seorang pecundang yang menyembunyikan semuanya dengan rapat.
Tapi setelah sampai disekolah, Yusuf langsung memintaku bertemu dilapang basket sepulang sekolah nanti.
Aku yang kebingungan setengah mati, atau aku yang ketakukatan setengah mati membayangkan apa yang akan Yusuf katakan atau apa yang akan dia lakukan padaku nanti, menjadi gila sendiri.
Pelajaran satu sampai delapan pun bagaikan memiliki magnet yang saling berlawanan dengan otakku. Sama sekali tidak ada satupun yang aku tangkap hari ini.
Dan bel pulang sekolah pun berbunyi, terdengar seperti suara sangkakala yang sangat menakutkan bagiku. Hanya bagiku.
Aku langsung berlari menuju lapang basket, dan ternyata Yusuf tidak ada disitu. Aku mulai bertanya pada teman sekelas Yusuf tentang keberadaan dia.
Ada salah satu temannya yang memberi tau kalau dia ada di laboraturium kimia. Aku pun langsung bergegas menyusulnya.
Ternyata dia sedang berbicara dengan Pak Teguh(guru kimia). Dengan ekpresi yang serius terpancar dari masing-masing wajah, membuatku semakin takut.
Dan aku pun memutuskan untuk menunggu Yusuf di lapang basket sesuai perintah Yusuf.
"Nad!" panggil Yusuf ketika sudah sampai di lapang basket.
"Eh?" jawabku dengan senyuman yang aku pancarkan.
"Maaf yah kamu nunggu lama." kata Yusuf sambil perlahan mendekatiku.
"Hahaha enggak kok. Enggak apa-apa." jawabku dengan diiringi sedikit tawa untuk menghilangakan rasa ketakutanku.
"Emhh, kenapa? Kok kaya yang tegang gitu?" tanya Yusuf padaku.
"Iyayah? Enggak ah! Biasa aja juga. Kamu mau ngomong apa sih? Penasaran nih." jawabku.
"Jadi, masalah kemaren kayanya enggak usah dibahas lagi. Ya aku maklumin karena itu mungkin cuman bukti bakti kamu ke orang tua kamu. Dan sebagai gantinya, aku juga aku mau kamu maklumin bukti bakti aku ke orang tua aku." jelas Yusuf.
"Hah? maksudnya?!" tanyaku yang masih belum mengerti.
"Tapi pagi aku sarapan bareng sama keluarga kamu, dan aku rasa itu udah cukup untuk mengucapkan pamit aku.."
"Apa?! Pamit?!" potongku pada Yusuf.
"Kamu tau Nad. Aku, Kakak aku, dan Adik aku. Kita semua udah jadi anak yatim piatu, dan pada akhirnya Kakak aku sadar kalau seharusnya kita enggak pisah kaya gini. Soalnya sekarang kita cuman bisa mengandalkan satu sama lain..
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Berbeda
RomanceDia yang berbeda dari apa yang selalu orang lihat dan pikirkan. seperti gunung es yang tiba-tiba mencair. Bisa mendatangkan sebuah pemandangan menyejukan dari hijaunya rumput yang mulai tumbuh atau bisa saja mendatangkan sebuah banjir bandang akibat...