Sixteen- Dirga

521 13 0
                                    

Gue menghempaskan tubuh gue dikasur empuk kamar yang sudah sangat gue rindukan. Mama sedang keluar, mengunjungi salah satu temannya di kompleks ini. sudah lama tidak bersilaturahmi kata nya. Sementara gue memanfaat kan semua nya dengan tidur, membayangkan apapun yang baru saja terjadi.

Dante mengantar gue pulang dengan selamat, sempat meminta gue untuk mau mampir ke cafe yang biasa nya tapi gue juga tahu jika suasana hati kita berdua sedang tidak baik, Dante memikirkan masalah nya dan gue memikirkan Dante dan jangan lupakan soal Dirga.

Akankah dunia gue serumit itu nantinya, bertemu orang-orang hebat. Gue merasa harus menjelaskan sesuatu kepada Dirga, tapi tidak, tidak akan sejauh itu. Dirga tidak butuh penjelasan gue. yang dia butuhkan hanya Nail. Bukan gue.

Kenapa masalah gue jadi serumit ini, karena Nail tentu nya. Gue tidak mungkin sampai hati mengatakan apa yang gue lakukan dengan Dirga baik kebetulan atau tidak hanyalah sebuah rasa kemanusiaan dan takut menolak karena Dirga senior.

"Pusing gue." gue mencoba menutup mata, melupakan semua nya mungkin akan lebih menyegarkan untuk otak dan pikiran gue. sebelum akhirnya Mama mendobrak masuk dengan tidak santainya membuat gue yang langsung terkejut ada di posisi duduk.

"Sayang.."

Gue memang belum bertemu Mama sejak pulang, ya karena Mama sedang ada di rumah tetangga dan mungkin saat tahu gue sudah kembali Mama langsung masuk ke kamar gue dengan panik begini.

Mama langsung memeluk gue dengan erat, dan gue yang dipeluk hanya bisa diam, karena masih ada dalam mode terkejut.

"Maaf ya, Mama baru bisa pulang." Gue rasa Mama mengelus kepala gue bagian belakang. Dan saat gue yakin, gue menyandarkan kepala gue di bahu Mama.

"Jadi begini rasa nya saat ada masalah tapi ada yang menguatkan.." Batin gue dalam hati sembari melepaskan semua beban tak kasat mata ini di bahu Mama.

Gue dan Mama terdiam beberapa saat, melepas rindu dan gue mencoba melepaskan beban gue dengan perlahan di pelukan Mama hingga akhirnya gue tertawa untuk melepaskan pelukan ini dari gue.

"Mama dari rumah Pandu?" Tanya gue menatap wajah Mama dari dekat, Walaupun Mama jauh dari gue tapi tidak jauh dari Papa, jadi mungkin Mama bahagia bisa mengawasi Papa. Dan itu juga membuat gue bahagia jika berhubungan dengan kebahagian kedua nya. Di era sekarang tidak hanya Mama yang takut terjadi sesuatu pada Papa. Tapi gue juga, maka dari itu gue mencoba untuk baik-baik saja saat Mama mengikuti Papa bekerja.

"Iya ngobrol sebentar" Mama mengelus pipi gue. "Kamu kurusan, Masih gak suka makan?" Tanya Mama yang gue jawab dengan gelengan.

"Coba Mama liat kaki nya." Mama menarik kaki gue lembut. "Calon dokter kok bisa sih gak hati-hai sampai gak liat ada pecahan kaca." Mama membuka perban nya dan gue bersyukur luka yang ada di kaki gue sudah mengering.

"Gelap Ma, gak kelihatan."

"Uda keringan." Gue mengangguk.

"Lagian Cuma luka begini doang Ma, gak bakalan ngebuat kaki aku di aputasi."

"Syut!" Mama memandang gue horor. "Gak boleh sembarangan ngomong."

Gue mengangguk. "Maaf.." Cicit gue pelan.

"Yaudah Mandi dulu, habis itu makan. Habis itu kalau capek langsung tidur." Perintah Mama yang kini gue angguki saja. jika Ibu Negara sudah kembali, hidup gue kembali tertata seperti ada jadwal nya.

"Kaki nya kalau uda kering tetap dikasih obat luka yang kemarin."

"Iya masih dikasih juga kok." Gue menatap Mama yang masih duduk didepan gue. "Mama kok masih disini? Aku mau mandi dulu."

DirgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang