Ten-Dirga

640 16 15
                                    

Gue masih duduk didepan api unggun ini, beberapa Mahasiswa baru juga masih berkeliaran disekitar api unggun dan ada beberapa yang sedang asik bercerita. Sementara para senior sudah masuk tenda.

Gue mencomoti bakso yang dibawa Ailen. Selain disini hangat gue juga sedang menunggu seseorang yang pasti nya sudah kalian tahu.

Lagu yang gue putar dengan headset ini menemani gue. Merenungkan apa yang tidak boleh gue renungkan.

"Huhh.." seseorang duduk disamping gue dan membuang nafas nya.

Dante ada disamping gue dengan jaket tebalnya. Menggosokan tangan nya di dekat api unggun. Mungkin sedang kedinginan, wajar saja waktu sudah menunjukan pukul 00:30 malam.

Tidak seperti acara kemah sekolah yang ada jalan-jalan malam entah apa namanya. Malam ini kami dibiarkan tidur dengan nyenyak setelah lelah beberes.

"Dingin bangett." suara nya bahkan masih terdengar bergerak karena kedinginan.

Gue memandang Dante lebih dekat. Rambut nya sedikit basah setelah ia menyisir rambut nya dengan tangan. Beberapa tetesan nya mengenai gue.

"Lo dari mana kak?"

"Huh.. Mandi.." ujar nya masih menggigil.

"Mandi? Malam-malam?"

Dante mengangguk. "Ada air terjun di bawa. Gue sama yang lain mandi disana. Kebetulan terang. Heheh.." Tawa nya yanh membuat gue juga ikut tertawa.

Masih bisa tertawa rupanya.

"Terus ini masih dingin?"

"Engga, ada itu." Tunjuknya pada api unggun. "Dan ini." selanjutnya nya tunjuk nya ke gue.

Ini gue mau pura-pura bego aja atau gimana ya?

"Apaan sihh!!"

Dante tertawa puas melihat wajah gue yang tersipuh malu, sial banget di gombali begini doang aja gue uda kaya ABG yang baru keluar malam mingguan. 

"Makan apa sih tuh?" 

"Baso, mau?" Tawar gue yang langsung diangguki oleh Dante. Mandi siang-siang di air terjun aja ngebuat laper. Apa lagi malam-malam begini, didaerah pegunungan. 

Seperti biasa, Dante menelan makannya dengan sangat nafsu. Terlihat jika laki-laki disamping gue ini sangat mensyukuri apa yang ada. Atau mungkin karena kelaparan, sampai-sampai Dante tidak protes soal sendok yang bekas gue pakai.

"Gue ambil sendok lagi ya Kak.."

Dante menatap gue dengan tatapan bersalah. "Lo masih lapar?"

"Engga, bukan gue mau lagi. Cuma tadi kan sendok yang lo pakai bekas nya gue."

Dante terlihat tidak memperdulikannya. Melanjutkan acara makannya lagi dengan lahap. Pasti Istri nya nanti senang punya suami kaya Dante. Kalau makan gak pernah milih, dan selalu lahap. Terkadang, makan dengan lahap didepan orang yang memberi kita makanan adalah hal sepele tapi mampu menyenangkan hati orang tersebut. 

Menurut gue juga, gue lebih senang jika seseorang makan dengan lahap, tidak jaim, tidak memilih makanan apa, makan ditempat mana. Simpel sih tapi berefek besar.

"Kamu bawa beginian dari rumah?"

Hati gue cukup berdesir saat Dante mengganti panggilan Gue menjadi Kamu. Perubahan yang cukup cepat untuk gue, karena jujur nya hati gue belum siap coy. Malam-malam begini, ditengah hutan, dihangatkan oleh api unggun. Yang ada bukan cuma hati gue yang meleleh, tapi seluruh tubuh gue kali. Eaaaa...

"Hmm, e Bukan aku yang bawa sih,  Ailen yang bawa. Aku laper tadi."

Dante mengangguk, mengunya kembali dan melihat ke sekeliling nya. Hanya ada beberapa orang disini. Hari sudah semakin larut dan gue masih disini dengan Dante. Jika ada yang melihat ini bisa merusak reputasi Dante sebagai Pers BEM. 

DirgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang