Bus membawa kami ke kampus, saat gue dan Dirga masuk Bus belum terlau ramai hingga di sepanjang jalan menuju kampus gue tertidur, saat bangun didalam bus sudah berdesakan, bahkan ada yang duduk di lantai bus.
Saat membuka mata, Nail yang gue lihat terlebih dahulu karena posisi duduk nya ada di barisan gue. Jadi posisi duduk nya itu seperti Trans Jakarta, dan di ada di sisi kiri yang sebarisan dengan gue, tidak jauh dari gue. Hanya berselang 3 bangku dari gue yang duduk di sisi atas bus ini. Memandang gue dengan sedih, saat gue lihat Dirga masih ada disamping gue. Tangannya sudah ia lepaskan. Mungkin merasa tidak enak dengan yang lain.
Setelah sampai di pendopo kampus juga beberapa teman-teman yang berdiri tidak mendapatkan kursi juga sudah mulai turun. Tapi Nail masih menatap gue walaupun tidak seintens saat gue baru saja bangun tadi.
Apa dia marah? Karena ada Dirga di samping gue? Padahal gue juga tidak menyender ke arah Dirga, tangan gue juga sudah tidak di genggaman Dirga.
"Lo bawa mobil?" Pertanyaan Dirga membuat gue sadar kembali.
Gue menggeleng. "Tadi diantara Pak Annas." Gue marogoh ponsel yang ada di saku almameter. "Gue telpon Pak Annas supaya jemput." Gue mencari nomor ponsel Pak Annas tadinya, sebelum Dirga merebut ponsel gue.
"Ayo gue antar pulang, tapi naik motor. Mau? Gue gak bawa mobil."
Gue speechlees, serius Dirga mau ngantar gue pulang?
"Mau gak?" Tanya nya lagi yang langsung gue angguki tanpa memproses lebih lanjut apa yang akan terjadi dengan jantung gue jika berlama-lama dengan Dirga.
"Tunggu disini aja, gue ambil motor." Dirga meninggalkan gue bahkan sebelum gue mengangguk.
Setelah sadar, gue menepuk pipi gue berulang kali. Hari ini ada apa sih? Apa ini Hari Dirga untuk Cesta? Kok Sepertinya Semesta sedang Rajin mempertemukan?
Tak perlu waktu yang lama Dirga kembali dengan motor Trail entah milik siapa lalu menyerahkan jaket bomber berwarna hitam dengan helm nya kepada gue.
"Dipakai."
"Punya siapa?"
"Temen, itu bersih kok.." Gue mengangguk mengenakan jeket nya yang masih wangi. Tapi ini wangi parfume..
"Jaket nya punya gue." Gue memakai helm masih bisa mendengar walaupun Dirga berujar pelan. "Gak izin gue lo make jaket yang lain." Ujar nya yang masih gue dengan sangat pelan. Gue terdiam, mencoba memutar kembali. Apa mungkin gue halu ya?
"Ayo!" Ajak nya yang langsung gue angguki, ingin naik ke motor ini agak susah, bukan karena gue pendek ya, tinggi gue 165.
"Bisa?" Tanya nya
Gue menggeleng. Lalu Dirga mengulurkan tangannya. "Pegang tangan gue, lalu naik." Gue ragu, tapi karena Dirga sudah memberikan tangan nya maka dari itu sayang banget kalo nganggur. Akhhirnya gue ambil tangannya lalu naik ke motor nya.
Duh jangan hujat gue karena gue modus!
Gue naik ke motor Dirga dan dengan pelan memegang ujung jaket nya karena motor ini tinggi dan tidak ada besi pegangan nya di bagian belakang motor. Ekstrem banget gak sih?
Dirga menjalankan motor nya, sampai didepan gerbang universitas, ada segerombolan mahasiswa. Ada Nail juga, menatap gue lagi dengan pandangan terluka. Dirga sempat membunyikan klakson nya dan beberapa mahasiswa yang ada disana langsung menatap kami terkejut.
Oke, sepertinya gue harus siap-siap kena hujat lagi kalau begini cerita nya. Ini bakalan ada hot issue setelah demo ini. Nyari mati banget sih gue anak baru.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dirga
Rastgele"Gue jahat dan brengsek saat mutusi Nail begitu liat lo, gue juga brengsek karena mengkhianati Dante. Tapi setelah sejauh ini. Gue nggak akan berhenti. Lo adalah tujuan gue, akhir dari cerita gue Cesta. Gak ada yang bisa menghentikan gue menuju tuj...