Kosong

799 27 9
                                    

Panggilan telpon masih berlangsung, entah apa yang dua orang ini pikirkan saat itu. Tak ada pembicaraan sama sekali, hanya saling diam dan memperdengarkan suara isak tangis masing-masing.

"susah jelasin nya, ini keputusan aku, dan aku harap kamu bisa ngerti". Ucapnya dengan nada rintih sebari mengakhiri panggilan.

Tak terlalu dingin, memang setiap hari cuaca di sini selalu bersahabat. Ruangan di sini pun tak banyak berubah, masih sama. Sebuah tv 21 inc, lemari, satu paket komputer gaming, serta sebuah pas foto berukuran cukup besar dengan tulisan "8-mei-2016" di belakangnya tetap tak bergeser menghiasi ruangan 3 x 3 m² ini.

Dinding berwarna putih, dengan sebuah mading fotoku bersama keluarga, teman, sahabat, dan (mantan) pacar.

Sebelumnya keseharian ku biasa saja, tak terlalu banyak yang di pikirkan. Selain kerja dan terbangun di setiap malam untuk menjaga ayahku.

Ayahku? Ya, ayahku sakit. Entah penyakit apa yang di idapnya. Dokter bilang semua organ dalamnya baik-baik saja. Tapi pikirannya, yang kerap tak terkendali. Beliau sering berbicara sendiri dan acap kali mengacak seisi rumah.

Sedangkan ibu, syurga kecilku itu telah meninggal saat aku berumur 16 tahun. Kehilangan itu sekaligus pertama kali bagiku, sebelum selanjut nya aku lebih kehilangan banyak hal lagi.

Umurku masih 16 saat itu. Tapi saat ibu meninggal, aku masih ingat betul, sakit macam apa yang aku rasa. Semacam ada genggaman erat yang sulit di lepaskan di antara paru-paru dan jantung. Sulit bernafas, sulit menahan air mata, sulit menerima.

4 tahun berlalu setelah kepergian ibu.

"kemeja, sepatu, celana udah teteh siapkan. Awas sebelum berangkat, berdo'a dulu biar lancar semuanya" ucapnya sambil memainkan rambut ku yang masih basah sehabis mandi.

"apaan sih teh kaya ke anak kecil saja" jawab ku dengan malu.

"sudah pake saja jangan bawel, makan terus berangkat" nadanya lembut sebari mendorong-dorong punggung.

Sebenarnya aku suka di perlukan seperti ini, semenjak ibu pergi aku menjadi pribadi yang tak banyak bicara. "Padahal sudah 4 tahun berlalu, tapi ibu serasa masih disini" pikirku dalam hati.


09:00 aku dan beberapa orang duduk gelisah, menunggu nama kami di panggil satu persatu.

"ILA KARNIWA" tiba-tiba saja namaku di panggil dengan keras.

"siang bu" jawabku menganggukan kepala.

"hoalah saya kira Ila Karniwa itu perempuan, ternyata laki-laki" candanya mencairkan suasana.

"hehe iya bu banyak yang salah sangka" garuk garuk tapi ga gatel.

"silahkan duduk" tersenyum mempersilahkan, jawab bu linda.

Beberapa pertanyaan bu linda ajukan padaku, semoga saja aku menjawabnya sesuai kriteria bu linda.

Interview selesai. Untuk hasil nya di umumkan satu minggu kemudian.

"ayo la aku duluan" sapa teman yang tadi interview bareng.

"iya duluan aja" jawab seadanya.

Aku beristirahat di sebuah warung-warung tenda makanan di tempat aku melamar tadi. Basa-basi penjual itu di mulai, membicarakan hal yang sama sekali tidak membuat ku tertarik. Aku hanya mengangguk saja, sambil sesekali tersenyum, memberi hadiah pada penjual es jeruk itu untuk tetap membuat ku betah berlama-lama di warung miliknya.

"Ila?" tiba-tiba terdengar suara, memecah pembicaraan aku dan pedagang

"euuh ehh ko....." jawab ku gugup.

Namanya virda, wanita dengan rambut kepang dan berkaca mata itu aku kenal dari seorang teman. Wajah nya yang agak tirus, pipi agak berisi dan berbadan agak pendek itu memang periang. Tak heran jika dia menyapa, meski sebenarnya aku sempat lupa nama nya. Aku ingat hanya karena name tag yang terpasang di sisi sebelah kanan bajunya. Jelas tertera di situ "Virda Mulya Darmawanti"

"eh masih inget kan? Satu bulan lalu, pas kamu nganterin nasi goreng tengah malam? Makasih banget, aku kelaparan waktu itu" pertanyaan tiba-tiba di tengah perjalanan pulang kami di sore hari.

"wah iya iya, ingatan mu tajam Vir" aku tertawa, virda ikut tertawa.

Percakapan menyenangkan itu terhenti di sebuah gang di dekat toko kacamata. Aku masih ingat gang menuju rumahnya.

"yah nyampe deh..." virda meloncat persis ke depan wajah ku.

"besok ga sibuk kan? Kita ketemu di toko kacamata ya. Mau yaa mauuu" nada meminta yang manja, dan raut wajahnya? Aaaaaahhh sudahlah. Sama sekali aku tidak bisa menolak.

"euuuh besok jam 3 sore ya" aku menahan sedikit ke salah tingkah han ku.

Ada yang beda di semua nada bicaranya. Perihal ingat mengingat aku bisa di andalkan. Wajar saja jika aku tau benar perbedaan Virda sekarang dan sebulan lalu.

Hari ini, sabtu 27 desember 2014. Aku berjanji bertemu Virda di depan sebuah toko kacamata di daerah garut. Tak lama, dia kluar dari gang jalur rumahnya.

Baju belang belang itu serasi, dengan celana hitam dan sepatu hak tebal nya. Kali ini dia memponi rambut nya, bukan dengan kepang satunya. Sama sekali terlihat beda, rasanya seperti orang baru, yang sudah lama aku kenal.

5 menit aku menatapnya tajam-tajam. Memastikan apakah ini benar dia?

"wooy kenapa la?" mengibaskan tangan ke wajahku sambil tertawa.

"eh engga vir cuma itu heee" sambut jawab dan senyumku

Kami berjalan-jalan di sekeliling alun-alun Garut. Sesekali, aku melihat wajahnya riang. Tak sedikit pun terlihat bosan, mungkin dia senang berjalan kaki bersama ku.

Senja membawa kami ke sebuah tempat makan. "jasby" begitu spanduk besar terbeber di depan tempat makan itu. Dengan cepat virda mengajak aku ke lantai paling atas.

Di lantai 3 ini, tempat makan nya lumayan bisa di nikmati. Kursi dari kayu dan meja yang di porsi kan untuk dua orang. Serta pemandangan yang bisa langsung melihat hirup pikuk remaja garut di sabtu malam.

Tidak ada yang kami bicarakan selama di tempat itu, hanya saja; sesekali virda menatap ku dalam, begitu tajam. Aku diam, virda diam.

Jatuh cinta? Mungkin.

Karena aku tidak begitu mengerti definisi cinta. Jika benar kata orang, bahwa cinta membuat nyaman dan tenang. Dari dulu aku sudah jatuh cinta, pada ibuku. Lalu kemudian aku menemukan hal yang sama, pada Virda.

17.280 Jam silamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang