Dari Virda, Untuk Ibu.

202 14 7
                                    

Seminggu berlalu sejak interview. Masih tergambar senja, serta dua tangan yang saling menggenggam. Pundak ku masih merindu nampaknya, meski suatu saat nanti ada beberapa hal yang akan kembali menjadi kosong. Entah itu kedatangan hal baru, atau kepergian salah satunya.

Lupakan sejenak hal yang pasti akan terjadi itu. Hari ini 3 januari 2015, almarhum ibuku berulang tahun. Biasanya aku pergi ke pusara ibu. Jika saja ibu masih ada, beliau akan jadi orang pertama yang mendengar kan aku berceloteh dengan riang nya.

Teteh dan ayahku yang kebetulan sedang sadar sudah berangkat pagi tadi.

Aku masih mempersiapkan sesuatu dengan tenang nya. Menunggu Virda? Tidak, dia sedang bekerja. Meskipun hari ini Minggu.

Membiarkan teteh dan ayahku pergi terlebih dahulu adalah salah satu cara ku untuk tidak menambah kesedihan.

Pikirkan saja, apa yang ada di pikiran tetehku. Seharian dia sudah lelah bekerja, mengurus ayah. Pun karena itu, aku sama sekali tidak suka memperlihatkan sekecil apapun kesedihan di depan teteh ku.

Sebelum berangkat.

Aku mempersiapkan diri terlebih dahulu. Meskipun sudah beberapa kali aku pergi ke makam ibu, tetap saja, aku tak kuasa mengendalikan hati. Mental anak mana yang tidak roboh melihat pusara ibu nya sendiri? Bahkan seorang pengendali ilusi sekalipun, akan terbenam jika dia kehilangan ibunya. Kehilangan setengah syurga nya.

Setibanya, aku langsung duduk di samping makam beliau. Tangan ku yang dengan sendirinya menyentuh nisan, merabanya dengan melas. Tetap saja, itu bukan kepala ibu. Itu hanya sebuah batu. Betapa hebat pun imajinasiku, itu hanya sebuah batu.

"bu, bukan kah nanti aku akan kembali juga? Berkumpul di tempat pulang yang sama seperti ibu sekarang" kepal tangan ku seketika melemah.

Meratapi tanah basah yang baru saja aku siram dengan air. Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Selain mengisi pengharapan dengan do'a dan pinta yang sama. Selamat ulang taun, maafkan aku, bu.

***


"selamat ulang tahun mah, mamah yang tenang di sana. Insya Allah Virda jaga dan bahagia in bungsu nya mamah ({})"

Pesan itu tidak istimewa, kata-kata nya biasa. Hanya saja, pesan itu di kirim dari seorang yang berharga. Sungguh, pesan singkat nya menjadi candu semangat yang paling ku ingat.

Lagi pula dari mana Virda tau hari ini almarhum ibu ku berulang tahun?

Sebesar itu kah perhatian nya padaku?

Terlepas dari kebingungan itu, setidaknya aku memasuki babak baru dalam hubungan ku dengan nya. Sebelumnya belum pernah ada yang memperhatikan aku se detail itu, selain tetehku.

Semenjak ada dia, percakapan percakapan paling tidak penting pun, jadi bahan candaan setiap menjelang tidur. Aku yang pendiam, terbawa dia yang periang.

Jatuh cinta.
Memang selalu menyenangkan.

Ila: Kamu tau dari mana ibu ulang tahun?

Virda: Yeee, ada dong mau tau aja. :p

Ila: hmm, sejak kapan jadi suka teka-teki yang?

Virda: sejak aku di pertemukan tengah malam, beserta nasi goreng dan kerupuk udang hehe

Ila: hahaha, cepat sadar. Makasih ya, yang. ({})

Virda: iya  syng, anggap aja itu hadiah. Dari Virda, buat Ibu. ({})

Ila: (ketiduran)

15 menit kemudian.

Virda: Dodol! Kebiasaan :')

***

17.280 Jam silamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang