Tetaplah berbahagia. Meski jarak kadang mengacaukannya. Maaf jika akhir-akhir ini aku jarang bercengkrama denganmu. Sebulan setelah di Jakarta, dia berbeda. Hal-hal yang aku takutkan ternyata terjadi. Tentang akan adanya pemisah selain jarak.
Dia menemukan seseorang yang bisa membuatnya jauh kembali seperti anak kecil lagi. Aku kalah saat ini. Oleh jarak dan orang itu. Percakapan kami tidak menyenangkan lagi. Lebih sering bertengkar. Semuanya terasa ganjil. Terlalu banyak yang hilang. Dia bosan. Aku tau itu.
Harapan yang ku simpan tinggi itu, kini di jatuhkan dengan satu hempasan. Sebulan lalu rindu itu buncah. Sebulan kemudian rindu itu pecah. Selamat tinggal rindu. Cari lah orang baru yang ingin kau singgahi. Karena kini, kau tak akan pernah bisa menyelinap di antara aku dan dia.
Sekarang tidak ada lagi kita, hanya dua orang yang beberapa bulan lalu pernah saling membahagiakan.
Kita bukan siapa-siapa lagi.
6 bulan mungkin terlalu singkat baginya. Dengan mudah dia menyelipkan nama baru di hatinya. Diharinya. Curang! Aku yang terlalu mencintaimu, kini malah teramat sulit melupakanmu.
Bagaimana caranya? Bagaimana!?
Dengan mudahnya dia menghapus semuanya. Seluruh ingatan itu, semua ketidak perdulian. Bagaimana dengan lantai 3 itu? Trotoar dan genggaman yang belum lama dia eratkan sebulan lalu.
Licik!
Apa caranya melupakan memang seperti ini? Mengganti kisah dengan cepat. Sedikit demi sedikit membahagiakan lagi hatinya, dan membiarkan ingatanku berputar di atas kenangan yang dia buat sendiri.
Tidak adil!
Kenapa kemampuan ingatanku begitu tajam. Gemercik hujan. Senja. Pelukan. Genggaman. Besi-besi tua. Balcon lantai 3. Wajah bangun tidurnya, aku belum bisa menyingkirkan itu semua. Sungguh belum bisa.
Aku sedikit iri dengan cara melupakan nya. Teramat cepat dia pulih, sedangkan aku masih sibuk menalan kenyataan bulat-bulat.
Mencintai? Mungkin maksudnya patah hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
17.280 Jam silam
Non-Fiction#1 non-fiksi (03-11-2017) Dua orang itu kini berusaha saling melupakan dengan jalannya masing-masing. Bagaimana rasanya? Kita yang dulu begitu benar-benar saling mengejar, kini silih berlari ke arah yang berlawanan. Tidak ada yang salah. Karena dari...