-satu-

7.5K 383 10
                                    

Angin malam minggu yang berhembus mesra di kota Garut membuatku harus merapatkan jaket varka army yang sedari tadi memeluk tubuhku. Garut, tempat kelahiranku dan tempat tumbuh besarku selama 19 tahun. Aku kembali merapatkan jaketku untuk meredam angin yang serasa menusuk-nusuk tulang rusukku. Sudah jam 8 dan suasana Alun-alun kota Garut makin ramai saja. Banyak anak remaja yang nongkrong sambil ngerokok dipinggiran pagar masjid Agung, kemudian banyak komunitas anak motor yang berkumpul di pinggiran jalan, termasuk aku duduk di bangku yang disediakan pemerintah di sepanjang trotoar area alun-alun.
Dari sekian banyak destinasi wisata di Kota Garut ini aku lebih suka menyambangi alun-alun di malam minggu seperti ini, rasanya seperti kembali ke beberapa tahun silam saat aku masih bersamanya. Aku tersenyum miris jika mengingat kepingan kenangan yang aku dan dia ciptakan di alun-alun kota Garut saat malam minggu seperti ini.
Mulai dari makan bubur kacang hijau, makan kue putu atau sekedar menikmati segelas minuman bajigur yang lumayan menghangatkan tubuh. Jujur, aku rindu saat-saat bersamanya tapi selama 6 tahun belakangan sedang kucoba untuk menguburnya dalam-dalam.

"Teh..." aku mendongakan kepalaku dan melupakan semua kenangan tentangnya. Adit, dia tersenyum kedua tangannya membawa dua mangkuk bubur kacang ijo kesukaanku.

"Teteh kenapa ngelamun, ngeri ih malem-malem gini entar kesambet setan alun-alun loh." candanya yang kuhadiahi dengan tinjuan di lengan kekarnya ia hanya terkekeh geli.

"Sakit teteh ih, nih cepetan makan keburu dingin nanti gaenak." katanya sambil menyodorkan semangkuk bubur itu kepadaku.

"Teteh kangen banget bubur kacang ijo ini, di Jakarta mana ada yang kaya gini."

"Makanya teteh sering-sering pulang dong."

"Yeee emangnya itu perusahaan punya teteh apa ?"

"Haha ya semoga aja nanti teteh bisa punya perusahaan sendiri."

"Amiinn." sahutku dengan senyuman.

"Teh..."

"Hmmm." aku menyahuti nya sambil menyeruput kuah bubur.

"Emm, teteh yakin mau aku masuk Akmil ?" tanya Adit. Aku menatapnya. "Aa gamau ngerepotin teteh lagi."
Aku menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan yang entah sudah berapa puluh kali adikku tanyakan.

"Menurut Aa, teteh kerja jauh-jauh ke Jakarta itu buat apa kalau bukan buat biayain Aa sekolah ? Teteh gamau Aa kaya teteh, yang harus nunggu sampe 1 tahun buat kuliah. Teteh mau nyekolahin Aa setinggi-tingginya. Aa itu cowok, harus punya masa depan yang cerah karena nanti kelak Aa akan jadi kepala keluarga."

"Tapi teteh udah terlalu banyak ngeluarin biaya buat sekolah Aa teh, dari Aa masuk SMA sampe sekarang hampir mau lulus teteh yang nanggung semuanya. Aa gamau ngerepotin teteh lagi."

"Teteh tau kok cita-cita Aa yang sebenernya, Aa mau jadi dokter kan ? Lebit tepatnya dokter obgyn."

Adit menoleh kemudian mengangguk dengan ragu. Aku hanya tersenyum.

"Tapi maaf a, teteh gabisa wujudin cita-cita Aa, itu terlalu berat buat teteh a. Tapi kalo Aa masuk Akmil insya Allah teteh bakal mampu biayain Aa. Aa bisa kan wujudin satu kemauan teteh ?"

Adit menatapku lekat-lekat kemudian mengangguk mantap. Lagi-lagi aku tersenyum.
Entah mengapa aku sangat tergila-gila pada abdi negara yang berseragam loreng ini, mereka laki-laki tangguh yang berani mengorbankan segalanya untuk negara. Bahkan khayalanku saat ini adalah aku bisa menikah dengan seorang abdi negara.
Itu yang membuatku meminta Adit untuk masuk Akmil, disana ia akan benar-benar mendapatkan pendidikan yang berharga dan masa depannya pun pasti akan sangat cerah.

Perkara JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang