-delapan belas-

1.4K 116 5
                                    

Seru ya punya pacar, hidup tuh jadi nggak sesepi kalo kita masih sendiri. Beda banget rasanya kalo ada pacar, tiap subuh, dzuhur, ashar, maghrib, isya sampai subuh lagi dia setia nemenin kita entah itu dengan jalan bersama atau sekedar chatting.

Seperti minggu pagi ini, Alpi sudah terdampar di studio musik Caraka untuk menemaninya bekerja sebagai owner sehari dalam seminggu.

"Maaf ya Al, aku nggak bisa ajak kamu jalan keluar." kata Caraka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.

"Nggak papa Ka, seru juga nemenin kamu kerja kaya gini." kata Alpi sambil sibuk membaca majalah musik.

"Sambil cerita dong biar nggak sepi." pinta Caraka, dan Alpi pun langsung mengalihkan pandangannya pada Caraka.

"Cerita apa ? Beauty and The Beast mau ?"

"Iya kamu beauty nya aku beast nya gitu ? Jahat nya ck ck." kata Caraka.

"Dih aku nggak ngomong gitu, itu mah kamunya aja yang baper."

"Kenapa kamu putus sama Dewa ?" tanya Caraka tiba-tiba dan itu sukses membuat Alpi membeku seketika saat nama Dewa disebut. Sadar tidak ada respon dari Alpi, Caraka pun langsung mengalihkan pandangan pada Alpi yang sedang duduk dihadapannya.

Caraka kemudiam tersenyum. "Kalo belum siap bicara..."

"Aku mau bicara." potong Alpi cepat.
Benar, Alpi harus memberitahu Caraka. Cepat atau lambat Caraka memang harus tahu, bukan karena statusnya yang kini menjadi pacar Alpi tapi juga hubungan pertemanan antara Caraka juga Dewa.
Caraka tersenyum saat Alpi menarik nafas saat akan mulai bicara, Caraka cukup mengerti akan sikap Alpi yang mungkin sangat berat untuk kembali menceritakan masa lalunya.

"Dewa yang mutusin aku." kata Alpi dengan suara yang nyaris tak terdengar, Alpi juga sengaja menundukan kepalanya, setidaknya Caraka tidak perlu tau akan kesakitan Alpi.
Caraka memang dasarnya lelaki yang cukup peka, buru-buru dia beranjak dari sofanya, kemudian duduk disamping Alpi, menepuk bahunya seraya mengingatkan bahwa sekarang ada Caraka disampingnya.

Alpi mendongakkan wajahnya saat Caraka duduk disampingnya.
"Kenapa Dewa mutusin kamu ?" tanya Caraka lembut.

"Karena kasta, kamu tau kan setelah aku lulus SMA aku nggak langsung kuliah ? Butuh waktu satu tahun agar aku bisa kuliah Ka, aku kerja di pabrik tekstil sebelum menjadi SPG Handphone, itu semua aku lakukan agar aku bisa kuliah ditahun depan."

"Dan Dewa mutusin kamu hanya karena kamu nggak kuliah Al ?" tebak Caraka, Alpi mengangguk tanpa ijin setetes air matanya jatuh membasahi pipi mulusnya, buru-buru Caraka menghapus air mata itu kemudian memeluk Alpi dalam dekapannya.

"D-dia bilang, aku sama dia seperti bumi dan langit Ka, dia calon dokter dan nggak pantes kalo pacaran sama aku yang hanya seorang SPG Handphone." kata Alpi, kepalanya masih mencari kenyamanan dari dada bidang Caraka.

Caraka tidak habis pikir pada Dewa, hanya karena Alpi nggak kuliah dia seenaknya memutuskan hubungan sepihak. 4 tahun menurutnya bukan waktu yang singkat, seberapa banyak kenangan-kenangan yang tercipta dalam empat tahun itu ? Ratusan ? Tidak, bahkan mungkin sampai ribuan.

Alpi kemudian melepaskan pelukannya menatap Caraka yang sepertinya tengah memikirkan sesuatu.

"Kenapa ?" tanya Alpi seraya memegang pipi Caraka dengan tangan kanannya.

Caraka tersenyum. "Nggak papa, nggak nyangka aja si Dewa kaya gitu Al. Padahal dia kan masih calon dokter baru dua semester pula, eh udah songong aja."

"Haha iya ya, padahal waktu itu aku mau bilang sama dia kalo bulan depan aku udah bisa masuk kuliah, eh malah diputusin." kata Alpi sambil tertawa.

Perkara JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang