/Konsekuensi Terlalu Benci Adalah Cinta/
Entah bagaimana Riska harus bersikap setelah kejadian tadi. Setelah mengeluarkan maklumatnya, lalu menariknya menjauh dari posisi mereka bertemu, hingga heels-nya patah membuat kakinya terkilir tak bisa berjalan. Rasa malu ingin menolak, namun sulit, kelu sekaligus membatu saat Rafael meletakkan kedua tangannya di bahu dan lutut dalam untuk mengangkat tubuhnya lalu membawanya masuk ke dalam mobil.
Memalingkan wajah ketika Rafael menatapnya dari kursi pengemudi, Riska memilih diam tak ingin berbicara.
"Sampe rumah, kakinya langsung rendem pake air panas, biar gak terlalu bengkak."
Riska hanya bergumam sebagai jawaban.
Saat tangan Rafael hendak menyentuh rambut Riska yang basah karena kehujanan, buru-buru Riska menghindar. "Ngapain sih?!" ketusnya.
Sebelum membalas, Rafael mengambil sehelai daun yang menyangkut di rambut Riska. "Ada daun. Sinis banget sih," kata Rafael.
"Tinggal bilang. Gue bisa sendiri. Gak perlu bantuan lo."
Rafael mengangguk, kemudian menyalakan mesin mobil. Ekor matanya melirik sebentar ke arah Riska yang tengah memasang wajah datar. Tatapannya lurus ke depan. Mimik ini, persis seperti Riska empat belas tahun lalu.
"Di belakang ada selimut, kalo dingin pake aja."
Riska tidak menjawab, sekedar menoleh pun tidak.
"Kemeja lo tipis, daleman lo keliatan."
Kali ini, Riska menoleh cepat kepada Rafael. Lalu melihat pakaian dalamnya yang tercetak jelas dari kemeja putihnya yang basah. "Lo ngeliat!?"
"Ya ... ngeliat. Makanya gue ngasih tau."
Wajahnya merah menahan malu. Buru-buru Riska mengambil kain dari jok belakang dan menutup tubuh bagian depannya. Mendelik kesal kepada Rafael sambil mencebikkan bibirnya pelan. Harga dirinya mau ditaruh mana? Apalagi Rafael langsung mengatakannya. Setidaknya, ia bisa pura-pura tidak tahu dan tidak membuat dirinya menahan malu setengah mati.
Seakan mengerti dengan perasaan malu Riska, Rafael berujar, "Tadi lo sendiri yang nyuruh langsung bilang, gak perlu bantuan gue."
"Tapi gak usah blak-blakan gitu!"
"Udah terlanjur ngeliat dari awal."
"Dari awal?"
"Iya, dari gue gendong lu."
Sontak Riska menjambak rambut Rafael yang sedang menyetir. Memukul kepalanya keras-keras, melampiaskan kekesalan.
"Aahh! Sakit, Ris. Gue gak mau mati konyol kayak gini."
Menghela napas kasar, Riska kembali diam. Tapi perkataan Rafael selanjutnya, sukses membuat Riska kembali bertindak kasar.
"Tapi kalo matinya berdua sama lo, bisa dimuat di koran. Terus tittle-nya 'Pasangan Tewas, Cinta Sehidup-Semati'."
Kurang ajar!
******
"Mau gue bantu, gak?" tanya Rafael setelah membukakan pintu mobil. Beruntung di rumah Riska tidak hujan.
"Gak usah."
"Yakin?"
Dengan susah payah Riska berdiri, menopang tubuhnya dengan sebelah kaki dan tangan bertumpu pada mobil. "Yakin," balas Riska.
Belum ada satu langkah penuh, sebelah kaki Riska malah terserimpit kain yang dipakai untuk menutupi tubuhnya. Celana bahan yang dipakai robek di bagian dengkul. Riska menunduk menahan sakit di mata kaki serta lutut.
Rafael menggelang pelan sambil meringis, lantas berjongkok di depan Riska. "Makanya jangan gengsi-gengsi banget sama gue. Masih gak mau dibantu?"
Kepala Riska menggeleng, lalu mencoba berdiri, namun gagal.
Dengan cepat Rafael berbalik, berjongkok membelakangi Riska, lalu menepuk bahunya beberapa kali. "Cepetan naik, gue bantu."
Tak ada respon. Rafael menoleh ke belakang, "Lo tuh benci, atau gak suka sama gue? Kayaknya jijik banget deket sama gue?"
"Gue gak suka sama lo, sekaligus benci sama lo. Lo tuh tiba-tiba dateng, padahal gue gak ngarepin lo."
Rafael berdecak. "Yaudah, cepetan naik."
Meskipun gengsi, Riska tetap menerima bantuan Rafael. Setelah tubuhnya benar-benar berada dalam gendongan, lagi-lagi Riska merasakan sesuatu yang aneh. Dulu, ia juga pernah merasakan posisi ini. Empat belas tahun lalu, Erga yang melakukannya, memberikan punggungnya untuk memapah tubuhnya, sebagai awal pertemuan mereka. Namun empat belas tahun ke depan dari saat itu--sekarang--, nyatanya bukan Erga lagi yang sedia membantunya, mengatainya berat, dan segala bentuk celotehannya yang membuat Riska jengah sekaligus tersenyum.
"Konsekuensi terlalu benci, adalah cinta," ujar Rafael.
"Maksudnya?"
"Hati-hati aja. Terlalu benci sama gue, bisa jadi cinta yang ketutup gengsi.'
"Jangan mimpi!"
"Emang bener kan? Buktinya, dulu lo suka deg-degan, deket sama gue."
"Sok tau!"
"Lo sendiri yang bilang."
Seketika Riska bungkam.
"Masih inget surat yang gue kasih?" Rafael menurunkan Riska pada kursi teras, berjongkok di depan Riska, dan menatapnya lekat. "Gue pikir ... gue bakalan mulai dari sekarang."
Rafael terdiam sejenak, lalu berdehem setelah seperkian detik. "Ris, dulu gue suka sama lo. Gue juga pernah sayang sama lo. Tapi sekarang, gue rasa, gue udah mulai cinta sama lo."
Mendadak wajah Riska menjadi tidak terbaca.
Dengan tersenyum, Rafael kembali melanjutkan. "Dimulai dari sekarang, gue ngetuk pintu hati lo. Seterusnya. Sampe lo buka pintu hati lo, buat gue. Lo mau, nikah sama gue?"
Peluk sayang,
DAS
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Ending Scene [Completed]
General Fiction"Kamu yang kembali, mengulang kisah ...." Seperti air, berharap cerita kali ini akan setenang alirannya. Karena hati, akan selalu berharap pada kebahagiaan. Ketahuilah, bahwa Erga juga sama lamanya menunggu seperti Riska. Rafael juga sama sakitnya s...