Scene 16

1.5K 129 16
                                    

/Sisa Malam Hari Ini Untuk Keheningan/

Apakah sakit, atau kecewa. Sendiri di saat yang lainnya menghabiskan waktu bersama orangtua. Tidak perlu orangtua yang lengkap, bagi Reina, hanya dirinya pun lebih dari cukup. Namun nyatanya, ia hanya sibuk memikirkan nasib orang lain. Sibuk menolong orang lain tanpa memikirkan bagaimana terlukanya Reina.

Menerima Rafael mungkin keputusan yang masih abu. Tapi hubungan ini, pernikahan ini, ia lakukan demi Reina. Bagaimana caranya agar Reina tidak sendiri setelah dirinya pergi nanti. Yang mengurusnya dengan status orangtua, bukan wali. Bukan Dika yang nantinya akan menikah, bukan Papa yang meskinya menikmati masa tua, bukan juga Eva yang harus membesarkan Arvin.

Riska memejamkan mata menahan sakit. Memegangi perutnya yang bergejolak. Keringat membasahi dahi serta baju. Pucat meliputi wajahnya. Bahkan perih yang tengah dirasakan tidak jauh lebih sakit daripada membayangkan Reina yang ditinggal sendiri. Riska tidak mau tahu, Rafael, orang yang telah ia pilih, mau bagaimanapun caranya, baik Rafael maupu Reina harus menerima satu sama lain.

Tiiin ....

Serta merta Riska banting stir. Napasnya menggebu akibat terkejut juga menahan sakit. Pertengkaran tadi ... harusnya Riska bisa menjaga emosi. Lagipula ini baru dua hari, wajar jika mereka masih sulit berinteraksi. Bagaimana jika rencananya tidak sesuai, dan Rafael menceraikannya lebih dulu. Tapi Rafael terlalu bodoh untuk mengatakan hal semacam tadi. Sebegitu cintanya Rafael kepadanya hingga melupakan status Reina sebagai anaknya? Apa dia lupa, menikah dengannya, secara otomatis akan menjadi Ayahnya Reina?

Meskipun Reina bukan darah dagingnya, tapi dia harus menerima, bahwa Reina adalah anaknya secara hukum. Dan Riska, akan membuat mereka menerima satu sama lain. Tidak peduli sikap mereka yang menentang.

*****

Sepelan mungkin, Riska membuka pintu agar tidak membuat kebisingan. Di tangannya sekantong pelastik putih berisi obat, sengaja ia dekap erat-erat agar tak terlihat. Lalu menutup pintu dengan sama pelannya.

Lampu ruang tamu masih menyala. Kemungkinan masih ada yang bangun tengah malam begini. Tapi nyatanya, hanya sosok Rafael yang tengah tertidur di sofa panjang, menjadikan tangannya sebagai bantal padahal ada bantal kecil di dekatnya.

Riska ingin menghiraukan. Ingin berjalan melewati tidak peduli. Namun akhirnya, Riska menghela napas dan berjalan mendekat. Mengamati tubuh Rafael yang meringkuk dalam keheningan. "Gue gak tau apa yang berubah dari lo. Atau gue yang gak kenal lo sama sekali," gumam Riska.

Meletakkan pelastik obat ke atas meja, Riska membuka jas panjangnya untuk dijadikan selimut. Mengambil bantal di sofa lainnya, kemudian mengangkat kepala Rafael dan menyelipkan bantal tersebut di bawah kepalanya. Setelah itu, Riska terdiam seraya mengamati wajah Rafael. Menatap kelopak matanya yang tertutup rapat, menyembunyikan mata biru yang pekat. Biru yang menjelma hitam--Satu hal yang Riska sukai dari Rafael--.

"Gue rasa lo bener, gue tau apa soal lo." Riska tersenyum ironis, berdiri dari simpuhnya hendak pergi. Baru saja ia berbalik, tangannya ada yang meraih, menahannya untuk tidak pergi.

"Mau kemana?"

Riska menoleh, mendapati Rafael telah terbangun dari posisinya. Kemudian hanya diam, dan balas menatap.

"Temenin gue," katanya.

Sekedar melihat reaksi Riska yang berusaha melepas peganggannya, Rafael tahu bahwa Riska menolak. "Sekali aja. Gue cuma minta lo buat nemenin gue sampe gue tidur, setelah itu lo boleh ninggalin gue."

Sejenak, Riska hanya diam menatap, sebelum akhirnya bergerak ke tempat tadi, dan mendudukkan diri di lantai dengan tangan yang masih digenggam erat oleh Rafael. Sementara Rafael, kembali merebahkan diri, memejamkan mata tanpa berniat melepaskan tangan Riska. Seakan enggan Riska pergi bila dirinya belum terlelap.

Sisa malam hari ini, Riska habiskan dengan mengawasi Rafael. Mengawasi dalam keterbungkaman seraya menahan kantuk yang menyerang. Ini sudah biasa. Tidur larut malam, kemudian bangun lebih awal. Tapi untuk sekarang, Riska benar-benar tidak tahan. Menundukkan kepala di atas lipatan lututnya sambil ikut memejamkan mata.

Biarlah malam ini, sebagai pengganti malam pertama mereka setelah pernikahan. Tak ada sentuhan intim, tapi setidaknya, ini lebih nyaman dari yang dipikirkan. Tidak ada pelukan dalam satu ranjang, melainkan tangan yang saling mengait.

Iya ..., biarlah mereka berdua seperti ini. Seperti layaknya pasangan yang saling menemani. Walaupun satu hati masih belum menerima hati lainnya.

Peluk sayang,
Das

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang