/Rasa Lebih Membawa Ambisi. Cinta yang Berevolusi Menjadi Obsesi/
"Analog? Om gaptek, ya?!"
Sekali lagi Rafael menahan emosi susah payah. Bocah di sampingnya ini, benar-benar mancing darah. Jangan sampai Rafael banting setir, lantaran kesal dengan perdebatannya yang tidak kunjung selesai dengan Reina.
"Ini namanya memperjuangkan cinta melalui hubungan. TRADISI! MENIKAH! BUKAN ANALOG."
Reina membuang napasnya dengan heran. Menolehkan kepalanya, menatap laki-laki dewasa yang telah menjadi suami dari Mamanya ini. "Yes, i know. Tapi wanita keren kayak Mama, mana mungkin cinta sama cowok berantakan kayak Om."
"Tau apa kamu soal cinta? Belajar yang bener, sebentar lagi ulangan."
Decakkan dari bibir Reina, sukses membuat Rafael menghentikan mobil di pinggir jalan dekat gerbang sekolah dan melihatnya. "Om ... Rei ini lahir dari sebuah cinta. Bahkan Reina bisa tau, siapa aja yang lagi jatuh cinta di kelas dengan sekali tatap. Kalo mata mereka stroke sebelah, itu artinya lagi kibas ekor. DIGITAL, BUKAN ANALOG."
Kepala Rafael geleng-geleng, emang ya, bocah jaman sekarang tau cinta-cintaan. Reina yang masih kelas lima SD saja tahu "kibas ekor". Ini namanya, dewasa sebelum waktunya.
"Umur kamu berapa sih?" tanya Rafael.
"Sembilan tahun, minggu depan sepuluh tahun. Katanya, Mama mau kasih hadiah spesial, tapi Rei rasa, Mama ngasih Papa. Dan Om," Reina mengacungkan telunjuknya tepat ke hidung Rafael. "Gak akan pernah jadi Papa Rei. NEVER!" tandasnya dramatis.
Sontak Rafael menyentil dahi Reina. Mencubit kedua pipi Reina dengan gemas. "Duh gemes! Mau di-sleding rasanya."
"Lagian, Om Aram jauh lebih keren dibandingin Om," kata Reina setelah melepas cubitan Rafael. "Pake jas dokter, style Exo. Gak kayak Om, yang cuma tukang foto keliling."
Wah, nih bocah minta mati, ya.
"Udah dibilang, saya bukan tukang foto keliling. SUKARELAWAN. Nanti kalo saya pake jas, kamu jantungan lagi," kesal Rafael.
"Om aja cuma tukang foto keliling. Gak punya penghasilan tetap, gimana mau beli jas. Udah ah, mau bel. Pokoknya, Om jangan keluar dari mobil, gak boleh ada yang ngeliat Om sama Rei. Nanti siang, Rei minta jemput Om Dika aja."
Rafael mengacak rambutnya frustasi setelah Reina keluar dari mobil. Mendadak, harapannya jadi suami-istri selayaknya dengan Riska memudar. Kalau tahu begini, Rafael gak akan nerima perjanjian itu. Bisa gagal ngerebut hati Riska ini mah.
*****
"Saya bakalan mundur dari promosi malam ini." Riska menyerahkan secarik amplop yang diletakan di atas meja. Berdiri tegap, memandangi direktur rumah sakit yang tengah menatapnya bingung.
"Kenapa? Bukannya ini kesempatan kamu buat jadi pimpinan anastesi? Saya berani taruhan, kalo kamu bakalan menang di promosi ini."
Sedikit menyunggingkan bibir, Riska menggelangkan kepala. "Saya udah gak tertarik. Bapak bisa isi kursi saya sama orang lain."
Pak Heru berdecak menyanyangkan, mengambil amplop yang baru saja diberikan, dan melihat isinya. "Apa ada hubungan sama anak kamu? Jadi ibu tunggal emang sulit, tapi kalo kamu sukses, anak kamu juga kan yang ngerasain enaknya. Kalo dia udah gede, dia bakalan ngerti--"
"Saya bukan ibu tunggal lagi," potong Riska. "Saya udah nikah. Saya punya keluarga. Saya mundur dari jabatan, supaya saya punya banyak waktu buat keluarga. Permisi." Bahkan tanpa mendengar balasan Pak Heru, Riska segera melangkah keluar dari ruangan, tidak ingin ditanyai macam-macam. Mulut Pak Heru juga ember. Nama Riska bisa saja terancam jadi konsumsi publik.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Ending Scene [Completed]
General Fiction"Kamu yang kembali, mengulang kisah ...." Seperti air, berharap cerita kali ini akan setenang alirannya. Karena hati, akan selalu berharap pada kebahagiaan. Ketahuilah, bahwa Erga juga sama lamanya menunggu seperti Riska. Rafael juga sama sakitnya s...