Scene 20

1.6K 131 15
                                    

/Folder tak Bernama/

Riska berdehem pelan seraya memalingkan wajah. Membenarkan tas jinjing miliknya sambil sesekali melihat Rafael yang berdiri tak kalah gugup.

Ini pertama kalinya Riska diantar bekerja oleh laki-laki selain Dika. Mengetahui fakta bahwa Rafael adalah suaminya, membuat darahnya berdesir tidak karuan. Apalagi jika mengingat kejadian pagi tadi, mana kala dirinya membuka mata dan mendapati wajah Rafael berada tepat berhadapan dengannya--sangat dekat, hingga hanya wajah Rafael yang ia lihat--, Riska tidak bisa berhenti memikirkannya.

Bukan lo banget, Ris, salting begini.

Rafael mengusap tengkuknya membuncah, sesekali menggaruk pelipis dengan bingung. "Minggu depan gue udah mulai kerja di perusahaan Papa. Mungkin gue bakalan lebih sering nganterin lo ke rumah sakit sekalian kerja. Jadi gue gak bakalan kayak orang pengangguran, atau kerja serabutan sebagai fotografer panggilan lagi. Minggu depan bakalan gue kasih uang bulanan." Rafael memecah keheningan. Mengangkat wajahnya dan menatap Riska seraya tersenyum kikuk.

Riska mengangguk, sedikit bergumam sebagai jawaban sebelum berbalik hendak memasuki rumah sakit. Tangan Rafael mencekalnya lebih dulu sebelum benar-benar pergi. Lagi-lagi mereka saling terdiam; yang satu bingung ingin mengatakan apa, sementara yang lainnya ingin cepat-cepat berpisah karena malu teringat kejadian tadi.

"Lo gak mau pamit dulu sama gue? Gue kan suami lo."

Inilah yang membuatnya gugup sejak tadi; meminta berkelakuan selayaknya suami-istri pada umumnya, namun terikat dengan perjanjia.

Seperti biasa, wajah Riska selalu datar, sulit terbaca. Sedikit senyum pun jarang. Pelit senyum aja Rafael bisa jatuh sejatuh-jatuhnya, gimana murah senyum? Bisa mati sebelum waktunya. Minimal serangan jantung atau diabetes saking manisnya.

Jangan ngayal!

"Nanti gue pulang malem. Tolong jaga Reina, siapin makanan buat dia, sama bantuin kerjain PR." Riska melepas cekalan Rafael dari sikunya, mengambil telapak tangan Rafael dan menciumnya. "Gue kerja dulu. Assalammualaikum."

Bah! Bagai tersengat listrik, tubuh Rafael menegang ketika Riska menyalaminya. Mungkin ini yang disebut kebahagiaan pengantin baru; kebahagian yang hakikih. Meskipun ini kali kedua Riska mencium tangannya, rasanya masih agak mendebarkan. "I-iya. Waalaikumsalam," jawab Rafael tergagap.

"Oh ya, jangan deket-deket cowok childish itu. Gue gak suka sama dia."

Riska hanya mengangguk sebelum berlari kecil memasuki rumah sakit--jelas tahu yang dimaksud Rafael adalah Aram. Mengikat rambutnya menjadi satu seraya menyapa beberapa pasien dan staff rumah sakit yang dikenal.

"Dia agak berubah, ya?" Melihat Riska menyapa sambil tersenyum, membuat Rafael berpikir untuk menyetujui kata-kata Riska waktu itu--bahwa dia, tidaklah sama seperti Riska empat belas tahun lalu. Tapi sampai kapan Riska berhenti bersikap dingin kepadanya?

******

Padahal masih pagi, desas-desus dari beberapa staff yang lalu-lalang di dekatnya membuat Riska jengah. Pasalnya, beberapa kali mereka menyebut namanya sambil curi pandang.

Riska pastikan, ini soal Rafael yang mengantarnya tadi.

Melihat beberapa juniornya tengah berkumpul di depan lift, Riska ikut nimbrung lantaran namanya terpanggil.

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang