Scene 11

1.7K 151 7
                                    

/Meredam Rasa dan Tangis/

Riska memilih diam setelah melihat Aram masuk ke ruangan, dan duduk di meja kerjanya sambil menatapnya. Meskipun sesekali kepalanya memikirkan hal-hal yang tidak-tidak, tapi sudah pasti, Aram tengah memikirkan sesuatu mengenai dirinya.

Merasa risih, sebab kedua mata hitam itu terus mengintainya, Riska putuskan untuk berdiri, beranjak dari tempatnya, hendak keluar ruangan. Namun bersamaan dengan itu, Aram ikut bergerak, mencekal tangannya, lantas menutup pintu yang baru saja Riska buka.

"Rafael beneran calon tunangan kamu?"

Riska mendengus, kemudian menggelengkan kepalanya sebelum kembali membuka pintu dan meninggalkan Aram. Rasanya, masalah yang bahkan Riska sendiri belum yakin tidak perlu dijawab.

"Kamu gak jawab pertanyaan saya." Tiba-tiba saja Aram telah berjalan di belakangnya, lalu membalikkan tubuhnya, dan mengunci tubuhnya ke dinding.

"Itu bukan urusan lo," kata Riska acuh tak acuh. Tangannya berusaha mendorong tubuh Aram, tapi percuma, Riska merasa malas jika harus mengeluarkan tenaga seperti biasa hanya untuk menyingkirkan sosok laki-laki di depannya ini.

"Ram, mau lo tuh apa sih?" Riska bertanya dengan nada jengah.

"Kamu tau mau saya apa."

Riska menghela napasnya, memijat tungkai hidungnya sebelum menatap Aram. "Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue, gak akan bisa menuhin harapan lo. Gue juga gak pernah ngasih harapan buat lo, kenapa--"

"Kamu bukan kasih saya harapan, tapi kamu mancing saya buat berharap sama kamu. Dari awal, saya udah banyak berharap sama kamu. Dari kamu megang tangan saya, dari cara kamu ngomong sama saya, dari kamu natap mata saya. Kamu ngasih saya peluang, buat jatuh cinta sama kamu."

Bibir Riska terkatup rapat. Kepalanya menunduk menjatuhkan pandangan. Sementara Aram, tengah mengendalikan debarannya yang berdentum keras, sementara pikirannya mulai meliar. Dengan jarak sedekat ini, Aram bisa saja khilaf dan melakukan penyimpangan.

"Ram, lo bisa pelan-pelan jauhin gue. Lo bisa belajar buat--"

Perkataan Riska terhenti ketika Rafael datang dan menarik tubuh Aram, memukul wajahnya, kemudian membawa dirinya menjauh dari Aram.

"Raf," panggil Riska.

Rafael tidak menjawab. Kakinya terus melangkah sambil menarik dirinya, membawanya ke kantin, lalu mendudukkan dirinya di salah satu bangku kantin.

Setelah itu, Rafael diam, menatap Riska dengan dada naik turun. Wajahnya menandakan kemarahan yang terselubung. Rasa cemburu dan kesal melanda dirinya saat ini. Lalu mengambil tempat duduk di depan Riska, dan meletakkan tempat makan di atas meja.

"Makan," perintah Rafael.

Riska diam, menatap Rafael tanpa ekspresi.

"Makan," kata Rafael lagi.

Riska tersenyum miring. "Kalian maksa gue buat nerima perasaan kalian, tapi kalian gak mikir, gimana perasaan gue saat kalian terang-terangan ngungkapin perasaan, padahal kalian sendiri tahu gimana jawaban gue."

"Kita gak lagi bahas itu."

"Kehadiran lo, sama aja bikin gue balik lagi ke masa lalu. Bedanya, hati gue gak memihak siapapun. Jujur, gue lebih suka lo yang dulu, yang selalu diam-dian merhatiin gue, yang ngegoyahin hati gue seakan gue emang benar-benar orang yang lo sayang."

"Gue gak mau jadi orang yang selalu ada di belakang lo."

"Gue juga gak mau, lo narik gue buat ada di samping lo." Lantas Riska berdiri, "Gue tinggal," katanya sebelum berlalu.

Dan Rafael, kembali terdiam sambil memikirkan perkataan Riska. Caranya mendekati Riska memang terlalu agresif, mengingat tidak ada lagi Erga yang menghalanginya. Namun keinginan untuk tidak disaingi dengan Aram, membuat Rafael hanya memikirkan perasaannya saja.

Ia baru merasa, jika caranya dulu mendekati Riska, hanyalah seulas senyum tipis dan sapaan "hai" tiap kali bertemu, bertandang ke rumahnya hanya untuk melihatnya dalam ketidaktahuan, membiarkan Riska tertawa bersama orang yang disayang meski bukan dirinya. Tapi ....

Itu dulu. Biar bagaimanapun, semuanya telah berlalu.

******

Riska mengerjapkan matanya, menoleh ke samping, dan melihat selang infus.

"Tadi kamu pingsan di kamar mandi." Ratna berjalan mendekat, membantu Riska bangun dari bankar.

"Iya, kayaknya kecapean."

"Hasilnya udah keluar." Tanpa basa-basi Ratna memberikan selembar amplop putih kecil berisi hasil cek darah. "Kamu bisa liat sendiri. Mba bakalan tutup mulut. Kalo kamu masih enggak yakin, kamu bisa dateng ke ruangan Mba buat liat hasil CT Scan-nya. Mba tinggal," kata Ratna meninggalkan ruangan.

Riska melepas jarim infus dari tangannya, membenarkan posisinya sebelum membuka amplop tersebut.

Setelah itu, hening.

Setetes air mata jatuh membasahi permukaan kertas. Tangannya meremas kertas tersebut hingga sisinya remuk. Perlahan, suara sendat terdengar. Riska menengadahkan kepalanya menahan air mata, namun justru semakin deras.

Bersamaan dengan itu, ponselnya berdering dari panggilan masuk. Nama Reina tertera. Riska berusaha meredakan sendat dan isaknya yang ingin keluar. Lalu, menerima penggilan tersebut.

"Mama, minggu depan Rei ulangtahun."

Suara Reina, sukses membuat Riska tidak lagi dapat menahan air mata. Mulutnya ia bekap demi meredam suara tangis.

"Ma?"

Semakin erat. Riska semakin erat menahan bekapannya. Air mata tumpah tak sanggup ditampung. Bahkan beberapa isak berhasil lolos dari bekapannya.

Dan pertanyaan Reina selanjutnya, Riska tidak lagi bisa menahan tangis. Tangis pecah setelah dirinya menutup telepon. Menundukkan kepala, menumpahkan segala air mata ke dalam tangkupan tangannya.

Di sana. Di dalam dada. Ada perasaan nyeri. Dan Riska, tidak sanggup menahan rasa sakit di sana, bahkan sekedar untuk menghentikan tangisannya yang pecah.

"Mama gak papa?"

Salam sayang,

Das

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang