Scene 22

1.4K 134 12
                                    

/"Karna gue gak mau nyakitin lo."/

Rafael kangen. Padahal baru tadi pagi ia bertemu Riska, sekarang sudah panas dingin ingin bertemu. Kalau saja ia tidak membahas mengenai gelang itu kemarin, mana mungkin ia uring-uringan menunggu hingga hampir tengah malam di ruang tamu.

Jujur saja, Rafael merindukan masa-masa dirinya sekedar memperhatikan Riska. Rasanya lebih bebas melihat Riska tersenyum, tertawa, bersedih, ataupun marah. Tinggal di atap yang sama, tidak menjanjikan dirinya akan bertemu Riska lebih sering, malah semakin jarang lantaran tugasnya yang harus menemani Reina, dan Riska yang bekerja di rumah sakit. Padahal sebelum menikah, langsung jalan ke rumah sakit menemui sang pujaan tidak ada halangan. Kalau begini terus, kapan bikin Riska jatuh hati?

Jadi suami juga gak ada faedahnya.

Mungkin lebih cocok dianggap pengasuh anak, karena waktunya lebih banyak dihabiskan bersama Reina.

"Makin lama makin sayang juga ama tuh anak."

Iya, Rafael mulai sayang sama Reina. Entah sejak kapan, tapi kalau sehari tidak bertengkar, kayak ada yang kurang. Hambar-hambar gimana gitu. Bawaannya mau godain terus. Gemes.

Rafael mendesah. Jam segini Riska belum pulang, walaupun ia tidak tahu jam berapa tepatnya Riska biasa pulang, perasaannya mulai resah. Simpel saja; Rafael hanya ingin melihat Riska. Setelah itu, ya langsung tidur. Sekedar mengobati rindu dadakan yang seberat beton--hiperbola memang. Tapi percayalah, Rafael beneran kangen!

Segera Rafael menyambar ponselnya, mencari nomor Riska di buku kontak untuk ditelpon. Begitu nada sambung terdengar, Rafael langsung bangun dari tidur-tidur ayamnya di sofa. Menggerakkan kaki risau.

Panggilannya terjawab. Riska mengangkatnya.

"Hai."

Sudah lama Rafael tidak menyapa Riska. Jadi tambah kangen masa-masa dulu.

"Lo ... lagi di mana?"

"Reina udah tidur?"

"Udah. Lo lagi di mana?"

"Bisa temenin gue di luar?"

"Dari tadi gue nanya gak dijawab."

"Susul gue di bioskop. Sekarang."

******

Dilihatnya sosok Riska yang tengah menunggu dengan earphone terpasang di telinga. Wajanya datar menatap lurus ke depan. Pemandangan ini, persis seperti empat belas tahun yang lalu. Saat dirinya selalu melihat mimik wajah itu dengan telinga tersumpal dari jarak jauh.

Kenapa tiba-tiba keadaannya jadi memungkinkan untuk mengenang yang dulu-dulu. Padahal perjuangannya saat itu tidak bisa dikatan hard ataupun easy. Ya ... mengalir aja gitu. Kalo lagi berani, ya ngedeketin. Kalo lagi enggak, cuma ngeliatin.

Tanpa menarik perhatian Riska, Rafael melangkah mendekat. Berdiri di sampingnya, kemudian mengambil sebelah kepala earphone. Begitu Riska menoleh, Rafael mengangkat telapak tangannya. "Hai." Tentu saja disertai senyum yang khas.

Dan Riska hanya diam, memandanginya dengan lekat.

"Tumben, lo ngajakin gue ke bioskop. Tengah malem lagi."

Riska langsung menarik earphone-nya dari telinga Rafael, juga dari telinganya. "Dika gak bisa dihubungi. Mungkin kedengarannya egois. Tapi gue bener-bener butuh pelampiasan."

Rafael bungkam. Sementara Riska menjeda perkataannya. Keadaan di sekeliling sepi; hanya ada mereka dan salah satu staff yang tengah bebersih di sekitar bioskop.

"Air mata gue gak bisa keluar, meskipun gue ngerasain sakit. Mungkin nonton film bisa bikin gue nangis. Gue udah pesan tiket. Filmnya udah dimulai dari setengah jam yang lalu." Riska berbicara panjang. Yang diajak bicara hanya diam menatap dan mendengar. Entah Rafael mengerti maksudnya atau tidak, Riska langsung berjalan masuk ke dalam bioskop, mencari teater bersama Rafael yang diam mengikuti di belakang.

Sepi. Tidak ada orang di dalam teater selain mereka berdua. Percuma saja Riska memesan tempat, jika ujung-ujungnya bebas duduk di mana saja.

"Sisain satu kursi buat jadi pembatas." Riska memperingati ketika Rafael hendak duduk di sampingnya. Kemudian bergeser satu bangku, menyisakan satu tempat sebagai pembatas.

Film telah dimulai sejak tadi. Rafael tidak bisa menebak apa yang Riska pikirkan saat ini. Mengenai pelampiasannya, Rafael tidak peduli. Tapi soal Riska ingin menangis, pertama kalinya dia mengungkapkan kesedihan. Hal itu membuat Rafael tidak tenang memikirkan keadaan Riska; sakit seperti apa? Bagian mana? Karena apa?

Rasanya Rafael ingin menanyakan semua itu. Namun mengetahui sebab Riska mengajaknya nonton film tengah malam, Rafael tahu, Riska ada masalah dan tidak ingin ditanyai macam-macam.

Lambat laun, atmosfer di teater semakin dingin. Rafael semakin merapatkan jaketnya lalu melihat Riska yang tidak mengubah posisinya barang sedikit. Tatapannya fokus pada layar. Bagian lucu pada film, Riska tidak tertawa. Bahkan bagian tersedih pada film, Riska tidak menangis. Ekspresinya masih sama; datar. Tak ada gurat di wajahnya.

Satu jam berlalu, film mendekati bagian akhir. Rafael tidak bisa fokus pada film, bahkan keseringan melihat Riska dengan pikiran penuh tanya; bagaimana seseorang bisa menonton film sedatar itu?

Hingga credit film berputar, lalu lampu di sekitar teater kembali menyala, Riska tidak beranjak dari tempatnya. Rafael pikir, sejak tadi Riska hanya melamun, atau mungkin tertidur dengan mata terbuka.

"Ris?"

Yang dipanggil berdiri, "Filmnya udah abis. Kita pulang," ujarnya.

Rafael hanya mengikuti, membatalkan niatnya mengutarakan kebingungan. Mengawasi cara berjalan Riska yang tidak bertujuan; semakin ke samping, semakin memojokkan dirinya mendekati dinding. Kemudian berhenti, menopang tubuhnya yang hampir jatuh di sana.

Rafael menghela napas, memperbesar langkahnya menghampiri Riska. Lantas berjongkok di depan Riska setelah melihat wajah Riska yang pucat. "Naik. Gue gendong."

Riska menggeleng, "Gak usah. Gue masih bisa jalan."

"Cepetan naik, kalo gak mau gue tanya macem-macem."

Letih. Kepalanya pening. Rasanya sakit di seluruh tubuh. Pada akhirnya Riska mengalah, menjatuhkan tubuhnya pada punggung Rafael. Mempererat pelukannya, lalu memejamkan mata dan bersandar pada bahu pria yang menggendongnya saat ini.

Setiap langkah, setiap detiknya Rafael membawa tubuh Riska, semakin bertambah gelisah dirinya. Lehernya terasa basah lantaran keringat Riska. Meskipun tubuhnya dibalut jaket, namun tidak menghilangkan rasa dingin dari suhu tubuh Riska.

"Lo sakit," ungkap Rafael.

"Sebentar lagi pergantian tahun." Riska berganti topik tanpa sadar. "Kita harus buat keputusan soal perjanjian itu. Gue mau kita pisah."

"Kenapa?"

"Karna gue gak mau nyakitin lo."

Salam sayang,
Das

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang