Scene 3

2.2K 179 15
                                    

/Temu dan Keputusan/

Riska menyentakan tangannya ketika Aram menahan lengannya. Pegal merambat setelah menjalankan operasi selama enam jam. Meskipun hanya seorang dokter anastesi, peran yang dibutuhkan sangatlah berpengaruh, mengingat prosedur operasi besar harus ada pembiusan sesuai kriteria, juga menjaga kestabilan organ vital pasien.

"Aram, tolong, jangan ganggu gue."
Riska mempercepat langkahnya, melepaskan masker yang menutupi rambutnya.

"Kamu udah dapet kabar dari wakil direktur belum?" Seperti biasa, Aram tidak peduli dengan ucapan Riska barusan. "Minggu depan saya bakal dipindahin ke sini. Katanya, saya bakalan satu ruangan sama Mba Ika, tapi saya udah ngusulin mau satu ruangan sama kamu dan Mba Yana."

Riska sontak menghentikan langkahnya, tangan yang sejak tadi disimpan di dalam saku, ia keluarkan seraya berbalik. Kemudian menganggukan kepala sambil mengambil napas, dan menatap Aram datar. "Mau kamu apa sih? Saya di sini sebagai senior, gak kamu hargain ya?"

Aram terdiam. Sebelumnya, Riska tidak pernah berbicara saya-kamu kepadanya setelah dirinya terang-terangan mendekati. Aram pikir, kali ini Riska benar-benar lelah diikuti olehnya. "Saya cinta sama kamu," kata Aram.

"Umur saya udah kepala tiga. Saya ini orangtua tunggal. Saya bukan lagi anak muda, yang main cinta-cintaan sama laki-laki muda kayak kamu. Harusnya kamu ngerti itu dari dulu!"

"Saya gak pernah ngajak kamu main cinta-cintaan sama saya. Saya mau serius sama kamu. Kamu mau nikah sama saya?"

Tangan Riska mengepal erat, meremas masker kepalanya, lantas berbalik dan pergi. Kali ini, ia benar-benar muak dengan Aram. Entah sampai kapan Aram akan menyikapi penolakannya dengan dewasa.

"Kenapa, Ris? Diganggu Aram?" Yana menghampiri Riska sambil membawa secangkir kopi, menutup pintu setelah Riska masuk, dan mengekori ke meja kerjanya.

Riska menghela napas. "Gitu deh. Mba Yana kok udah pulang? Saya kira bakal lama bulan madunya."

"Maunya sih gitu, Ris. Tapi suami minta pulang, katanya ada masalah di kantor. Reina kabarnya gimana?"

Soal Reina, Riska baru ingat jika Reina menunggu di restoran pukul tujuh malam. Sementara sekarang, sudah hampir jam sembilan. "Ya Allah, Mba. Aku lupa, Rei nungguin." Riska segera beranjak dan berjalan ke luar menuju ruang ganti, mencari pakaian sebelumnya dan meletakan jubah operasi yang sejak tadi melekat ke tempat pakaian kotor.

Bergegas pergi ke ruang kerjanya, lalu mengambil tas beserta blazer, sebelum meninggalkan Yana begitu saja yang tengah menatapnya heran.

Langkahnya semakin cepat, terlihat seperti lari kecil, sambil sesekali melirik jam tangan. Kemudian, meraih ponselnya dari dalam tas dan melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Reina. Di dalam lift, Riska menggoyangkan kakinya dengan gelisah, lantas membaca pesan masuk yang menumpuk dari Dika.

From : Dika
Reina udah gue anter ke restora. Jangan lama-lama, gue ada urusan di kantor.

Kak, lo udah sampe?

Kak, Reina bilang lo belum dateng. Lo lagi ngapain sih?!

Kak, Reina sendiri. Kalo ada jadwal operasi, kabarin!

Riska berdecak, kemudian mengikat rambutnya menjadi satu sebelum berlari ke luar dari lift. Namun karena tidak berhati-hati, tak sengaja ia menabrak seseorang hingga menjatuhkan ponselnya. "Maaf," kata Riska. Mengambil ponsel dan kembali meneruskan langkah.

"Riska!"

Langkah Riska terhenti ketika seseorang memanggilnya. Tubuhnya melemah setelah menyadari siapa yang baru saja memanggil. Ia ..., tahu benar suara itu--pemilik suara yang pernah ia kenal empat belas tahun lalu--.

Perlahan tapi pasti, Riska membalikan tubuh. Dadanya berkecamuk hebat saat melihat satu laki-laki yang berdiri tidak jauh. Saat itu, rasanya seperti mengulang waktu yang telah berlalu. Mencari-cari kenangan, untuk membandingkan wajah pemilik hatinya yang lama dengan laki-laki di depannya.

"Waktu yang lama, ya?" kata Erga seraya tersenyum.

******

"Lo ... dokter di sini?"

"Hm. Lo ngapain di sini?"

"Nyariin lo."

Riska menoleh. Seakan mengerti pandangan mata Riska, Erga melanjutkan, "Dari Dika. Ada yang mau gue omongin sama lo."

Riska kembali meluruskan pandangannya. Seakan lupa tujuannya berlari-lari hingga menabrak Erga seperti tadi, ia terlihat tenang memperhatikan taman rumah sakit dengan kosong.

"Lo gak pulang?"

"Gak."

"Kenapa?"

"Belum waktunya."

Erga mengangguk, kemudian ikut terdiam memperhatikan taman. Tak sengaja, sudut bibirnya melengkung tipis kala mengingat masa lalunya bersama Riska, merenungkan setiap bagian yang pernah terjadi, dan merasa bahwa semua itu adalah cinta monyet yang lebay.

"Lo berubah." Erga bergumamam jelas. "Penampilan, suara, sampai cara pandang lo ..., banyak yang beda."

"Apapun bisa berubah," balas Riska.

Lagi, Erga tersenyum tipis sebelum berdiri. "Mau main gunting-batu-kertas? Peraturannya, masih sama kayak dulu." Erga menyodorkan tangannya yang telah siap untuk bermain, menunggu keterbungkaman Riska sejenak dengan senyum tak lepas di wajahnya.

Riska mengerjapkan mata, menatap kepalan tangan Erga sesaat, sebelum mendongak untuk melihat Erga. Bibirnya bergeming, seakan enggan untuk menerima ajakan bermain Erga.

Untuk waktu yang cukup lama, mereka sama-sama bungkam. Membiarkan serangga malam bernyanyi, dan kesunyian menyapa. Namun tidak menyadari, suasana apa yang tengah terjadi.

Kemudian, Riska berdiri, mensejajarkan posisinya dengan Erga, mengambil napas dalam, sebelum membalas tatapan Erga. "Kenapa? Kenapa gak langsung aja?"

Kepalan tangan Erga mengendur, lantas jatuh ke samping tubuhnya. "Ternyata lo masih sama."

"Kalo lo dateng, cuma mau nanya perasaan gue sama lo, gue bakalan jawab sekarang." Riska melangkah mundur, memberi sedikit jarak antara mereka berdua. "Gue ... masih nunggu lo."

"Ris--"

"Ini udah 14 tahun, Ga. Lo bakal bilang apa, setelah gue nunggu lo, tapi gak pernah berusaha nyari lo? Lo bakal bilang apa, kalo perasaan waktu itu masih ada, tapi gue gak pernah dateng buat lo. Apa lo bakal bilang, lo juga masih nyimpen perasaan yang sama? Enggak kan?!"

"Ris--"

"Lo gak pernah nyari gue, bahkan nanya sama Dika, ini baru pertama kalinya. Itu udah jelas buat gue, kalo hati lo udah beda."

Kaki Riska segera melangkah pergi, namun Erga menahannya. Menarik tangannya untuk kembali berdiri di depannya. "Asal lo tau, Ris, gue juga sama lamanya nunggu lo. Seperti yang lo bilang, apapun bisa berubah, termasuk hati yang gak bisa gue kehendaki bakalan berakhir sama siapa."

"Kalo gitu, gue ngelepasin lo--cinta pertama gue, yang sebelumnya pernah gue tinggal selama 14 tahun. Yang pernah gue gantung, karena perasaan labil gue yang gak jelas arahnya ke mana. Sekarang, kita bebas. Gak akan ada lagi yang ngikat kita. Lo Erga, dan gue Riska. Kita ..., cuma teman lama."


Peluk sayang,

DAS

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang