Scene 10 (Private)

1.8K 151 13
                                    

/Riska, Reina, dan Rafael/

"Dimulai dari sekarang, gue ketuk pintu hati lo. Seterusnya. Sampe lo buka pintu hati, buat gue. Lo mau, nikah sama gue?"

Mata biru yang menjelma hitam itu masih setia menatap Riska lekat. Dan Riska, hanya balik menatap tanpa bersuara.

"Gue tau ini dadakan. Masih ada banyak waktu buat lo jawab--"

"Raf," Riska melipat bibirnya sambil mengalihkan pandangan, kemudian kembali melihat Rafael dengan serius. "Tau gak, apa yang gue pikirin setelah lo dateng?"

Rafael diam.

"Gue pikir, lo sama kayak Erga. Dari banyak tahun yang mendekati hari kepergian gue, kenapa harus tahun ini kalian baru dateng? Banyak yang berubah, Raf. Kalo lo pikir hati gue masih segoyah kayak dulu, lo salah. Ada Reina, mungkin gak, kalian bisa saling nerima? Jangan lupa, kita udah dewasa. Gue lebih nyaman di posisi ini. Saat gue pergi, emang ada yang nyari gue? Bahkan gue gak pergi jauh-jauh dari sini."

"Gue nunggu saat yang tepat. Pertemuan kita di stasiun, itu termasuk rencana gue buat masuk ke hidup lo yang baru. Ris--"

"Kalo cuma karena gelang ini," Riska melepas gelang yang melingkar di tanganya, mengambil tangan Rafael, lalu meletakkannya di telapak tangan Rafael. "Gue bakal balikin. Anggap aja, gue ngelanggar janji gue, karena ngelepasin gelang ini bukan atas kehendak lo."

Riska segera berdiri, meletakkan kain di kursi, kemudian beranjak menuju pintu. Namun, Rafael menahannya, menarik tubuhnya, membawanya ke dalam dekapan.

Sunyi menyapa. Riska dapat mendengar detak jantung Rafael yang menggebu. Anehnya, Riska hanya diam dan membiarkan Rafael memeluknya. Rasanya untuk saat ini, mengalah adalah pilihan yang terbaik.

"Kalo dulu gue cuma ngeliatin lo dari belakang, bertindak layaknya bayangan, sekarang gue bakalan terang-terangan nunjukin perasaan gue. Kalo itu buat lo gak nyaman, mungkin lo harus terbiasa sama sikap asli gue yang satu ini," jelas Rafael.

Dari balik dekapan Rafael, Riska tersenyum tipis, terlihat seperti ironis. "Lo pinter buat kata-kata."

"Lo tau seberapa lelahnya menunggu, dan kecewa ditinggalkan."

******

Sedikit membanting buku kecil bersampul cokelat, Dika menatap Riska dengan pandangan tidak percaya. "Lo harus liat nilai matematika anak lo," kata Dika.

Riska mengangkat sebelah alis matanya, lalu meraih benda yang diberikan Dika, dan membuka halaman demi halaman.

"Anak lo ... pinternya gak ketulunan. Sumpah, gue baru nemu nilai begitu. Sepanjang sejarah, nilai paling kecil itu cuma nol. Tapi ini min nol. Bego gak sih?"

Dika rela datang ke rumah sakit, berlari-lari layaknya orang kesetanan, hanya demi menunjukkan nilai yang tak sengaja ia temukan di rak buku Reina.

"Gue rasa, lo harus meriksa otak anak lo yang agak bermasalah itu. Soal songong sama tengilnya, bodo amat. Lah ini, nilainya kok bisa min nol."

Tak ada ekspresi terkejut. Riska biasa saja. Lalu dengan santai menjawab, "Namanya juga belajar. Paling gurunya salah coret. Lagian, gue juga pernah dapet -K terus SP dua kali. Tapi Papa sama Mama gak bilang otak gue bermasalah."

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang