Scene 24

1.4K 147 10
                                    

/Ending Scene/

"Lo seneng?"

Rafael menoleh setelah menghentikan mesin mobil. Hujan telah berhenti sejak sepuluh menit yang lalu. "Seneng kenapa?" tanyanya balik.

"Reina. Panggilan itu."

Napas berat Rafael berembus, tangannya mengerat merapatkan selimut yang membungkus tubuh. "Menurut lo gimana?"

Kali ini Riska menoleh. Tubuhnya sedikit dimiringkan demi berhadapan dengan Rafael. Beberapa deru kendaraan yang melintas di sepanjang jalan komplek terdengar, pedagang nasi goreng keliling membunyikan wajannya, serta suara khas dari pedagang sate yang amat nyaring. Riska tidak menjawabnya, namun ia sedikit menikmati keheningan yang diselingi bebunyian tadi.

Rafael mengerti keterbungkaman Riska. Kemudian menghela napasnya sekali lagi dan berpikir sejenak. "Gue bingung mau ngungkapinnya gimana." Begitu jawaban Rafael.

"Sampe sini, lo gak mau nanya, siapa ayah kandung Reina?" Pandangan Riska semakin serius. Nada bicaranya merendah, seakan menyimpan keraguan di dalamnya.

Rafael menggeleng. "Enggak."

"Kenapa?"

"Karena gue udah tau." Tak ada reaksi dari Riska, namun Rafael tahu bahwa Riska terkejut. Matanya tidak berkedip, dan memandanginya penuh tanya. "Mungkin kalo gue gak tau, gue masih sulit buat nerima perjanjian itu. Lo tau, waktu kita berantem, gue sadar kalo Reina bukan--"

Riska langsung membekap mulut Rafael, menolehkan kepala dan melihat Reina sedang tertidur pulas. "Reina anak gue," desisnya.

Setelah Riska melepas bekapannya, Rafael kembali melanjutkan. "Terus, gue liat akte kelahiran Reina di lemari lo. Bukan Winata, tapi Antenio. Dan gue baru tau, kedatangan Erga waktu itu, pasti mau ngomongin soal Reina."

"Jadi, lo gak bakalan minta pisah dari gue kan?" lanjut Rafael. Memiringkan kepalanya menunggu jawaban Riska.

Sementara yang ditanya, lagi-lagi diam. Banyak yang ingin Riska katakan mengenai rahasianya; rahasia siapa Reina, mengapa dirinya membuat perjanjian itu, dan rahasia hatinya yang masih belum bisa menerima Rafael--Sepenuhnya--. Juga ..., mengenai penyakitnya yang telah memasuki stadium lanjut. Tapi untuk sekarang, biarlah setengah dari semuanya.

"Apa lo bakalan terima, kalo gue masih ada hati sama Erga? Lo tau, orang yang pergi meninggalkan, lebih mudah melupakan karena hanya membawa rasa bersalah. Tapi yang ditinggalkan, butuh waktu lama untuk terbiasa dengan pedihnya kehilangan."

Rafael tersenyum. Terlihat memaksa. Benar-benar ironis Riska baru mengakuinya sekarang. Lalu, bagaimana dengan perjuangannya dan janji yang telah ia tepati?

"Susah banget ya, buka hati lo buat gue." Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Karena faktanya, Rafael masih di tempat yang sama seperti empat belas tahun lalu. Tidak berubah. Sama sekali tidak berubah.

"Maksudnya, gue takut nyakitin lo Raf, karna gue pernah ditinggal sama orang yang gue sayang."

"Terus lo bakal beneran ninggalin gue? Gitu?"

"Gak ada alasan gue ninggalin lo, gak mungkin gue ngerusak kebahagiaan kalian. Tapi kalo seandainya takdir; maut, yang misahin kita lebih dulu, bukankah lebih sakit?" Riska menarik sudut bibirnya, menyentuh wajah Rafael dan mengusapnya dengan ibu jari. "Lo berhasil bikin gue berdebar di deket lo, itu udah jadi tanda kalo lo berhasil masuk. Lo tau sendiri, kalo ego gue tinggi. Tapi seperti yang gue bilang tadi, masih ada separuh hati gue buat yang lain, buat Erga."

"Gue masih gak ngerti sama lo, Ris. Sama jalan pikiran lo."

"Gak perlu dimengerti, nanti lo tambah bingung. Gue cuma bilang semua ini buat jaga-jaga, seandainya gue beneran pergi, lo gak akan sesakit gue dulu."

"Kenapa?"

"Karena sebelum sampai akhir, lo udah tau, cinta lo gak akan pernah berbalas."


Catatan penulis :

Saya mengapresiasi siapapun yang membaca karya saya, termasuk yang menyukai dan enggak. Sejujurnya, saya gak terlalu suka sama pembaca yang memberi komentar dengan bahasa yang menjatuhkan/menyudutkan (perspektif saya), dan saya tetap menghargai. Saya juga pembaca dan saya punya hak untuk memberi tanggapan terhadap buku yang saya baca. Tapi, manusia diberi akal untuk berpikir--bagaimana cara saling menghargai dan memberi tanggapan terhadap sesuatu yang gak disukai secara baik dan sopan.

Saya gak memaksa seseorang untuk membaca karya saya. Kalian suka, saya bahagia. Kalo enggak, silakan tulis komentar kalian dengan bahasa yang baik dan tidak menyudutkan, atau tinggalkan. Ada banyak cara yang baik untuk menyuarakan pendapat. Jadilah pembaca budiman, yang gak hanya memilah kekurangan, tapi juga memberi solusi dan saran yang membangun.

-Das

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang