/Gelang Inisial 'R' Untuk Reina/
Lemparan pulpen di kepala Aram, sukses membuatnya sadar dari lamunan. Mba Ika menjentikan jarinya pada meja, memutar kursinya dengan asal. "Diem aja. Galau, ya, gara-gara Riska dianterin cowok?"
Aram menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, memutar kursinya ke arah tempat duduk Mba Ika. "Tau aja, Mba," katanya lesu.
"Kamu tumben gak gangguin Riska. Nyerah, gara-gara liat cowok yang nganter Riska kemarin lebih ganteng dari kamu?"
Wajah Aram terlihat masam. "Bukan itu, Mba. Masalah ganteng, mah, jelas cakepan saya. Mudaan saya."
"Tapi kan Riska gak suka yang muda-muda, terutama kamu. Mba yakin, kalo Riska bosen diintilin kamu terus."
"Itu sih, saya juga tau. Masalahnya, cowok itu suaminya Riska. Ya kali--"
Buru-buru Mba Ika memotong. "Hah? Seriusan? Kok Riska gak cerita ke saya sih, kalo dia udah nikah?!"
"Gak tau ah, Mba. Mungkin Riska belum sempet bilang."
"Terus kamu gimana, Ram?"
Aram mengusap wajahnya gusar. "Kalo dipikirin, kayaknya saya bakalan mundur pelan-pelan. Mau cinta saya segede apa juga, mereka kan udah nikah, udah berumah tangga. Ya kali saya jadi pihak ketiga yang ngerusak rumah tangga orang."
******
Pagi-pagi dapur sudah berisik dari alat masak yang saling beradu. Rafael terlalu berlebihan memperagakan cara memasak yang keren, padahal hanya memasak nasi goreng biasa. Arvin dan Reina yang berada tepat di meja makan, hanya melongo melihat keterampilan Rafael dalam memasak.
"Laganya selangit," decak Reina penuh sindirin. Kepalanya geleng-geleng, sementara tangannya menyilang di depan dada.
"Keren, Om!" Arvin mengacungkan ibu jarinya, menatap Rafael penuh rasa kagum.
Riska yang baru saja turun dari lantai atas dan telah rapih sambil menenteng blazer, langsung menyapa Reina dengan kecupan singkat di bibir mungilnya. "Tumben udah rapih? Biasanya Mama teriakin dulu."
Reina mengusap bibirnya asal menggunakan lengan baju seragam sekolahnya, membersihkan jejak kecupan Riska di bibirnya. "Abis, jam enam Arvin udah dateng. Ganggu orang tidur aja." Reina melempar tatapan sinis kepada Arvin, sementara yang ditatap hanya nyengir tidak berdosa.
"Mau berangkat bareng Reina?" Riska bertanya setelah mengambil tempat duduk di depan mereka. Memunggungi Rafael yang memanyunkan bibir karena merasa tidak dianggap. Disapa pun tidak.
Sekali-kali kek, bilang halo atau hai.
"Iya, tante. Bunda lagi rapihin baju buat liburan ke Malang nanti, jadi gak sempet nganterin aku."
"Lho, kan belum ambil rapot."
"Besok ambil rapot, Ma," sambar Reina cepat. Mengeluarkan secarik surat dari tasnya dan menyodorkannya kepada Riska.
"Rei gak mau, rapotnya diambil Om Dika, atau Tante Eva. Maunya Mama yang ambil." Begitu katanya dengan nada malas.
Setelah melihat isi surat tersebut, Riska tiba-tiba melempar pandang kepada Rafael yang tengah menata piring berisi nasi goreng di meja makan. Berinisiatif untuk mengajaknya mengambil rapot semester Reina bersama. Sekalian, mau lihat keadaan Tukiyem yang pernah ribut dengannya.
Merasa diperhatikan, Rafael menoleh. "Apa?" tanyanya.
Reina yang menyadari maksud tatapan Mamanya itu langsung menyahut. "Jangan sama Om Rafael. Nanti aku diketawain lagi!" rengeknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Ending Scene [Completed]
General Fiction"Kamu yang kembali, mengulang kisah ...." Seperti air, berharap cerita kali ini akan setenang alirannya. Karena hati, akan selalu berharap pada kebahagiaan. Ketahuilah, bahwa Erga juga sama lamanya menunggu seperti Riska. Rafael juga sama sakitnya s...