Scene 13

1.5K 155 22
                                    

/Jawaban Untuk Kamu yang Telah Lama Menunggu/

"Karna gue terlanjur sayang sama lo. Sayang yang bukan main-main."

Riska membuka matanya dengan cepat. Keringat membanjiri seluruh tubuh, dan rasa pegal di leher ketika kepalanya diangkat setelah tertidur di meja makan. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak tidak jauh di hadapannya, melirik jam digital yang menunjukkan pukul tengah malam lewat beberapa menit, lalu menghela napas.

Kenapa harus kata-kata Rafael yang membangunkannya? Kalau bisa, buat kepalanya amnesia sesaat, agar tidak mengingat kata-kata itu seperti tadi sebelum terlelap. "Dasar ...," dengus Riska.

Membangunkan diri sambil meregangkan tubuh, Riska melangkah gontai menuju ruang tamu. Sekedar memastikan keadaan Reina yang tidur di sofa. Bukannnya melihat tubuh mungil anaknya, justru hanya keheningan dan kosong yang menyapa.

"Reina udah gue bawa ke atas."

Riska membalikkan tubuhnya ketika suara Dika menggema. Mendapati Dika yang tengah menuruni tangga dan berjalan menghampirinya. "Kebiasaan, pintu gak dikunci," kata Dika seraya menunjuk pintu dengan dagu.

"Lo ngapain?"

"Numpang tidur."

"Gak di rumah?"

"Ceritanya ngusir nih?"

Kesekian kalinya Riska menghela napas. Hanya diam memperhatikan adik laki-lakinya berjalan melewatinya menuju kamar tamu yang terletak dekat tangga. Hingga tubuh tegap itu berbalik, dan kembali membuka obroloan bersama dirinya.

"Oh, ya." Dika membalikkan tubuhnya, kembali mendekati Riska. "Papa titip salam buat lo sama Reina. Katanya, kapan-kapan nginep di rumah. Sepi. Ajak Arvin sekalian."

Riska mengangguk, "Iya."

"Satu lagi. Minggu besok Reina ultah, lo mau kasih dia apa?"

Terdengar decakan ringan dari bibir Dika ketika Riska tidak langsung menjawab, melainkan berpikir sejenak, yang menurut Dika cukup lama. "Anak lo ultah aja, masih mikir mau ngasih apa. Mau gue kasih saran, gak?"

Riska mengangkat sebelah alis matanya. "Jangan aneh-aneh," balasnya.

"Kasih Reina ayah."

Taak!

"Lo pikir gampang nyari ayah!"

"Ya lo tinggal tunjuk mau Aram atau Rafael sih. Nikah. Terus tuh orang bakalan jadi bapaknya Reina."

"Ngomong doang gampang!"

"Gue serius. Rencananya, bulan ini gue mau ngelamar Amel. Otomatis, gue gak bakalan selalu bisa bantu lo buat jaga Reina kayak biasa. Kak, umur lo tuh udah mateng buat nikah. Lagian, lo gak kesian ngeliat anak lo yang kuper? Lo belum tau aja di sekolah kelakukan anak lo gimana. Lebih kurang ajar dibandingin lo dulu. Dia tuh lebih sensitif dibandingin lo."

Riska diam. Matanya nyalang melihat ke dalam mata Dika, merasakan keseriusan Dika yang memang kali ini, tidak bisa lagi di-elak. "Gue harus mulai gimana, setelah gue nolak mereka terang-terangan, terus tiba-tiba gue dateng minta salah satu dari mereka buat nikah sama gue?"

Dika memejamkan matanya seraya menghela napas, mengambil ponselnya lantas mengirimkan sebuah pesan kepada Riska. "Gue kirim lokasi rumah kontrakan Rafael. Gak jauh dari sini. Lo bisa mulai, dari opini lo tentang mereka. Sisanya, ada di tangan lo. Gue gak akan ikut campur lagi." Dika melenggang pergi. Meninggalkan Riska dalam kesunyian dan gelap rumah.

Dalam keterbungkaman, Riska mencoba tidak peduli dengan perkataan Dika. Karena ia tahu, sesibuk apapun Dika, adiknya itu akan selalu meluangkan waktu untuk membantunya meskipun dalam keadaan terdesak. Namun, ia sadar diri, bahwa Dika juga memiliki kehidupan yang harus dijalani tanpa diganggu olehnya.

Ponsel yang sejak tadi digenggam, ia angkat. Mencari nomor dari daftar panggilan masuk, lantas mendial nomor tersebut. Berkali-kali nada sambung panggilan sibuk masuk, dan Riska masih tidak menyerah untuk berbicara dengan si empunya nomor.

"Kenapa, Ris? Malem--"

"Kita bicarain soal Reina di sini, lewat telepon. Karena setelah ini, gue gak akan nemuin lo lagi."

******

"Mau jadi suami, atau ayah?" tanya Riska, setelah meletakkan nampan berisi piring makanan tepat di depan Aram yang tengah menyantap makan siangnya.

Aram tersedak, terkejut bukan main dengan pernyataan Riska barusan. Antara bahagia dan bingung. Aram menelan makanannya cepat, berdiri sambil menepuk tangan dan tersenyum senang. "Kamu nanyain saya?" Aram balik bertanya tidak percaya.

"Mau jadi suami, atau ayah?" Sekali lagi Riska bertanya. Wajahnya datar, sedatar datarnya.

"Jelas kamu nomor satu," kata Aram.

Dan Riska, segera berdiri setelah mendengar jawaban Aram. Berkata "ditolak" terlebih dahulu, sebelum meninggalkan kantin dan tidak peduli dengan teriakan kebingungan dari Aram.

******

Bersembunyi di balik tembok, Riska memperhatikan rumah kontrakan sederhana yang ditinggali Rafael. Sebenarnya, Riska sendiri bingung, kenapa Rafael bisa tinggal di rumah kontrakan sederhana sementara keluarganya adalah salah satu pemilik perusahaan besar sekaligus pemegang saham.

Riska mengambil napas panjang. Kali ini, ia harus yakin dengan keputusannya. Antara Aram atau Rafael. Hanya itu. Jika keduanya memilih sebagai "suami", maka tidak akan ada yang menjadi pilihannya.

Belum ada dua langkah Riska keluar dari persembunyiannya, Riska kembali menarik diri ketika melihat sebuah mobil berhenti tepat di samping pekarangan rumah. Riska tahu benar siapa wanita berumur yang keluar dari mobil terserbut. Meskipun kerut sedikit menghiasi wajah, namun garis senyum dan matanya masih tetap sama seperti empat belas tahun lalu.

Tante Mila, Mamanya Rafael.

Bersamaan dengan itu, Rafael keluar dari dalam rumah. Terlihat rapih dengan kaos yang dibalut jaket dan celana jeans. Penampilan Rafael, masih tidak berubah.

Meskipun samar, Riska dapat mendengar obrolan mereka yang lama kelamaan berubah menjadi adu debat, menyangkut pautkan dirinya kedalam pembicaraan.

"Aku janji, tahun ini. Kalo Riska masih belum terima aku, aku bakalan setuju sama wanita lain yang Mama pilih."

"Mau sampe kapan kamu nunggu dia?"

"Aku udah ketemu dia, Ma ...."

"Belum tentu dia punya perasaan yang sama kayak kamu, Raf. Empat belas tahun, kamu gak cape nungguin dia?"

"Ma ...."

"Terakhir bulan ini."

Riska baru bisa keluar dari persembunyiannya setelah Mila masuk ke dalam mobil dan pergi. Menghampiri Rafael, kemudian terdiam di hadapannya seraya menatap Rafael.

"Ris, kok lu bisa--"

"Gue terima lamaran lo."

Pada akhirnya, keputusan Riska mengenai tanya-jawab yang akan dilontarkan, berubah dalam hitungan menit. Ia pikir, Rafael tidak pernah main-main dengan perasaannya. Merasa ..., jika debaran yang pernah bergetar di dalam benak, akan berkembang seiring berjalannya waktu.

"Ris--"

"Lo udah ketuk pintu hati gue, kan? Kalo gitu, gue bakalan buka perlahan buat lo. Coba buat hati gue lebih bergetar lagi setelah ini. Buat jantung gue, lebih berdebar lagi dari sebelumnya."

Peluk sayang,
Das

Yang mau ngasih kritik atau saran, silakan kirim pesan di wall atau PM. Bakalan dibalas, selama tidak menyinggung, dan menjunjung kesopanan. Makasih❤

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang