Scene 25

1.7K 134 7
                                    

/Awal Dari Ending Scene/

Bagian ini akan mengulang kisah yang sempat dirahasiakan. Kilas balik sepuluh tahun yang lalu, saat kecelakaan itu terjadi.

Hari itu, Riska tidak kuasa memantapkan langkahnya mengikuti brankar yang membawa tubuh Ana penuh darah, separuhnya hangus terbakar. Riska pikir, Ana tidak mungkin selamat. Kemudian, ambulans lainnya menyusul, juga membawa dua korban lainnya. Namun mereka sungguh beruntung, karena tidak terkena dampak ledakan dari mobil Ana. Tubuhnya masih utuh, salah satu korban masih dalam keadaan sadar. Dan Riska ... mengenalnya.

Dia berteriak kesakitan, tangannya memegangi perutnya yang membuncit, lalu sebelah tangan lainnya mencoba menggapai tubuh sang suami yang dibawa beriringan. Pakaiannya kotor. Darah merembes dari bagian tubuh bawah. Saat matanya menangkap sosok Riska, bibirnya bergerak dan bersuara lemah menyebut nama Riska.

Dari tempat Riska berdiri, Riska semakin kehilangan kepekaannya, kesadarannya. Hari ini, bukan hanya Mama yang memenuhi pikiran, bahkan wajah serta jerit kesakitan dari sahabatnya ikut menghantui. Iya, Deva terlibat dalam kecelakaan, bersama Jesper yang tidak sadarkan diri.

Dika datang tidak lama. Tangannya mengguncang tubuh Riska yang syok. Tidak mendapat respon dari Riska, Dika melangkah masuk ke dalam tanpa Kakaknya. Ia lebih panik dengan keadaaan Ana ketimbang Riska.

Jantung Riska berdebar hebat. Ia gelisah sekaligus takut dengan kejadiaan ini. Ia tidak mau kehilangan Mama untuk kedua kalinya, karena Ana, satu-satunya keluarga yang ia percaya selain Dika.

Perlahan, kesadaran Riska mulai kembali. Kakinya bergerak memasuki rumah sakit dan berjalan mencari ruang UGD. Ia melihat Dika di sana, tengah meremas rambutnya sambil menundukkan kepala. Ketika Riska sampai di depan ruang UGD, seorang dokter keluar dari ruang UGD lainnya dan memanggil namanya, menyuruhnya segera masuk tanpa banyak bertanya.

Air mata jatuh dari pelupuk mata ketika melihat kondisi sahabatnya yang terbaring lemah. Deva masih sadar dan terus menarik napas untuk bertahan. Keringat membanjiri, wajahnya pucat pasi, darah di mana-mana.

"Deva ...." Riska berdiri tepat di samping Deva, meraih tangan Deva dan meremasnya.

Deva membuka mata susah payah. Tenaganya hampir habis akibat pendarahan yang tidak berhenti. "Maaf, Ris. Maaf."

Riska menggeleng. Berkali-kali ia menggeleng dan menumpahkan air matanya. "Bukan salah lo, Dev."

"Sakit, Ris." Dibalik aduannya, Deva berusaha tersenyum. Tangannya mengerat pada genggaman Riska menahan sakit.

Riska mengelus rambut Deva, mengecup lama kening sahabatnya penuh rindu. "Lo harus kuat." Mata Riska menatap Deva nanar, pandangannya mengabur karena air mata.

Sebelum percakapan mereka selesai, dokter yang menangani langsung menarik tubuhnya menjauh. Dari monitor, Riska bisa melihat organ vital Deva yang semakin lemah. Itu artinya, persalinan tidak bisa dilakukan secara normal, tenaga Deva tidak cukup untuk mendorong bayinya ke luar. Anastesi diperlukan banyak untuk melakukan caeserean, tapi pendarahan akan semakin besar melalui operasi. Deva bisa kehabisan darah jika tidak ditransfusi.

Dokter mempersilakan Riska untuk segera keluar bersamaan dengan para suster yang membentangkan tirai. Namun Riska ingin bersama Deva, menemani. Deva kesakitan di sana. "Dok, resikonya besar kalo pendarahannya gak diberhentiin."

"Silakan anda ke luar." Dokter mendorong tubuh Riska menuju pintu, tapi Riska mengelak, memaksa dokter agar membalas pernyataannya.

"Sahabat saya bisa mati kalo persalinannya dilanjutkan!"

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang