Spesial Part II : Arvin - Reina

1.3K 82 11
                                    

/Salah Satu Pengalaman Masa Kecil/

"Ini lho, yang aku bilang tadi." Arvin menunjuk-nunjuk sesuatu di antara banyak ranting pohon. Reina celingak-celinguk, menyipitkan mata, hingga meloncat-loncat mencari keberadaan benda hidup yang dimaksudkan Arvin. Begitu menemukan seekor kucing yang tertidur ditutupi dedaunan, bibir Reina terbuka.

"Jelek! Dekil! Cakepan juga kucing peliharaan, Rei!" cetus Reina. Tidak peduli bagaimana perasaan Arvin, yang jelas, kucing yang sering dibicarakan sahabatnya tidak lebih baik dibandingkan kucing peliharaannya, Papah. Toh, salah Arvin juga yang mendemonstrasikan, bahwa ada kucing yang lebih lucu dibandingkan Papah. Kesannya, seperti menjelekkan, padahal hanya mau mengingkan pendapat. Huh!

"Tapi kan aku juga mau punya peliharaan kayak Rei!"

"Ya beli aja, jangan mungut! Kalo kucingnya gila gimana? Ntar Arvin ikut gila lho!"

"Kan nanti dibawa ke dokter."

"Kalo gitu sekalian aja liat-liat kucing di klinik." Bibir Reina mencebik, mengambil tempat duduk di bawah pohon mangga seraya menanggalkan dasi juga gesper.

"Mahal. Lagian, Papa aku kan alergi bulu kucing. Pasti gak dibolehin ama Bunda."

Reina sekali lagi menengadah, melihat kucing persia berwarna hitam sebelum menghela napas. "Kalo gitu gak usah melihara," jawabnya enteng.

"Ish! Rei gak ngertiin aku banget."

"Biarin."

Arvin berdecak kesal, merendahkan tubuhnya dan berjongkok di depan Reina. Bibirnya bergeming, menekuk ke bawah, lantas melihat sahabat perempuannya itu dengan sinis. Tangannya mencabuti rerumputan asal, menunggu Reina menanggapi reaksinya yang melawan.

Melihat wajah masam Arvin, Reina mendorong tubuh Arvin hingga jatuh duduk. "Kan Arvin yang mau melihara, masa harus Rei juga sih yang diribetin!" Suara Reina meninggi.

Selesai sudah. Reina tidak bisa lagi meneruskan amarahnya, lantaran air mata Arvin mulai menggenang. "Jangan nangis!" sentak Reina.

Namun Arvin tidak bisa menahan tangis. Air matanya perlahan berurai. Berkali-kali ia mengusapnya asal, dan menunduk dengan bibir bergetar. Sumpah, Arvin ini, tipe bocah laki-laki yang cengeng. Harus diperlakukan halus juga baik.

Reina mendesah. "Yaudah, tunggu sini, Rei ambil kucingnya dulu. Tapi jangan nangis." Kemudian melepas sepatu sekolahnya bersiap memanjat pohon. Begitu sampai di atas, serta hewan yang menjadi target telah berada dalam gendongannya, Reina memanggil Arvin, menyuruh Arvin agar sigap untuk menangkap kucing yang akan ia lemparkan.

Tangan Arvin terbuka lebar, bergerak-gerak hendak menangkap kucing yang akan dilemparkan Reina. Belum sempat memberikan kucing tersebut kepada Arvin, posisi Reina mulai berubah, tidak imbang lantaran kucing dalam gendongannya meronta.

Bak nangka jatuh, Arvin menutup telinga dan mata bersamaan. Kemudian disusul teriakan histeris dari Reina.

"Rei gak papa?!" Arvin panik seraya mendekat.

"Sakit!"

"Kaki Rei berdarah!" Tangan Arvin bergetar ingin menyentuh lutut Reina. Namun Reina semakin histeris, membuat dirinya ikut menangis lantaran takut.

Salam sayang,
Das

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang