Scene 6

2K 164 38
                                    

/Lamaran Dadakan/

Sekali lagi, Riska mematut dirinya di depan meja rias. Menyentuh pipinya, bekas Rafael menciumnya selama lebih dari sepuluh detik. Begonya, kenapa saat itu ia hanya diam. Hanyut dalam sikap Rafael yang lagi-lagi menggoyahkan seperti empat belas tahun lalu.

"Kenapa?" gumam Riska. Menundukkan kepalanya seraya meremas rambutnya.

"Kenapa otak gue sempit banget sih?!" desisnya, mengusap wajahnya kemudian mengambil tisu untuk diusap ke pipi kanannya.

Hanya karena kehadiran Rafael, sosok Erga yang selalu melayang-layang dalam lamunannya mendadak hilang. Sikap Rafael tadi ..., benar-benar membuatnya lupa diri. Tapi tadi, maksud perkataan Rafael apa?

"Jangan liat ke belakang, karena ada gue di depan lo."

Helaan napas ke luar dari bibirnya. Tangannya membuka laci dan mengambil secarik kertas yang telah dipotong menjadi 7×7. Bekas lipatan terlihat tegas di permukaan, menyatakan bahwa kertas itu tidak pernah dibuka dan disimpan di bawah tumpukan benda-benda.

Riska tidak membaca sepenuhnya. Hanya saja, pandangannya mulai kabur seraya melamunkan secarik kertas yang tengah dipegang. Satu hal yang tidak boleh Riska lupakan; tindakan Rafael yang sesederhana penampilan serta tingkahnya, tersirat banyak kejutan yang terkadang membuat Riska tidak bisa bersikap tenang.

Kata "hai" yang selalu dilontarkan acap kali bertemu. Diikuti lambaian tangan serta senyum tipis. Anehnya, Riska masih ingat dengan kebiasaan Rafael yang satu itu.

Panggilan masuk membuyarkan lamunannya. Nama Reina tertara di layar ponsel yang menyala. Dengan sigap Riska meraih benda tersebut dan mendekatkan ke telinga setelah menerima panggilan.

"Halo, Ma?"

"Rei belum tidur?"

"Rei gak betah tidur di sini. Gak enak. Arvin tidurnya rusuh, Om Dika juga ngorok. Rei gak bisa tidur."

Riska tersenyum, menebak jika Reina tengah menekuk bibirnya ke bawah tanda kekesalan yang jelas terdengar dari intonasi suaranya. "Kakek ... gak ngomong apa-apa sama Rei?"

"Rei manggilnya Opa, Ma, bukan Kakek. Opa sama Oma."

Senyum yang tadi tercetak, perlahan memudar. Kata "Oma" yang Reina lontarkan, membuat Riska tak sengaja teringat dengan Mama; keduanya. Diana, juga Ana. Ada perasaan tidak ingin sebab Reina memanggil Marissa dengan sebutan Oma. Tapi ...

Itu masa lalu, Ris. Lo udah sepakat buat gak bahas yang udah-udah.

"Hm."

"Mama beneran gak papa? Tadi ... Rei liat Mama nangis."

"Hm. Gak papa."

"You can tell me everything, Mom."

"Hm. Rei sendiri gimana? Masih kecewa sama Mama? Masih marah?"

"Enggak kok, Ma. Lagian Rei kan cuma minta waktu Mama, emangnya gak boleh? Bulan depan Rei ultah. Rei gak mau sendiri kayak tahun lalu. Kalo bisa sih ... ajak Om Aram juga."

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang