Scene 17

1.5K 134 15
                                    

/Peringatan Hari Kematian Mereka Sekaligus Kelahiran Seseorang/

Riska ingat, bagaimana dirinya dibentak oleh dokter pembimbingnya saat tengah menjalani koass. Tidak tidur selama dua hari berturut-turut atau lebih lantaran jaga malam di IGD. Melakukan apapun yang diperintahkan oleh dokter residen. Membuat laporan tentang observasi secara dadakan. Atau menangani pasien yang rada-rada.

Saat itu, adalah tahun paling mengerikan daripada mati-matian belajar di universitas demi mendapat sertifikat kelulusan. Menjadi dokter muda di poli anastesi yang harus siap siaga jika diperintah, atau tegar saat dimarahi senior. Merelakan tubuhnya sakit karena tidur di kursi tunggu saat jaga pos. Dan juga ... merelakan Reina yang harus ditinggal bersama Eva.

Riska tidak bisa melepaskan gelarnya sebagai spesialis anastesi begitu saja. Sejak dirinya pertama kali memijakan kaki di lantai rumah sakit sebagai dokter muda, lalu merangkak menjadi dokter residen, hingga seperti sekarang, dokter spesialis anastesi yang sebenarnya. Makanya, Reina tidak punya kenangan masa kecil bersamanya. Foto-foto yang tersimpan dalam album, hanya ada foto Reina bersama Dika, Eva, juga Arvin saat kecil. Bahkan foto-foto yang terpajang di dinding rumah, kebanyakan foto-foto dirinya dan Reina yang dibingkai menjadi satu. Hanya satu, foto yang menangkap kebersamaan mereka, yaitu foto saat dirinya menggendong Reina ketika masih bayi di rumah sakit.

Tanggal tiga Desember, tepatnya sepuluh tahun yang lalu; Hari kelahiran Reina, sekaligus kematian mereka. Meskipun Tuhan merenggut mereka yang dekat dengan Riska, tapi di waktu bersamaan, Tuhan memberikan sesosok malaikat kecil. Saat air matanya tak kunjung berhenti, tangan mungilnya yang menggenggam jemarinya, memberikan rasa hangat dan mengubah tangis sedih menjadi haru. Seakan menyatakan, bahwa perpisahannya dengan mereka bukanlah hal yang patut dilarut-larutkan dalam kesedihan. Ada secercah kebahagian, kecil, namun menyilaukan.

Reina. Reina Putri Deris.

******

Pukul sebelas Riska baru bangun. Kebetulan hari ini, Riska ambil cuti selama dua hari sebelum cuti bersama. Dan seingatnya, ia tertidur di bawah bersama Rafael, bukan di tempat tidur kamarnya dengan matahari yang sudah meninggi.

Riska menoleh ke samping, melihat pelastik obat yang tergeletak di meja nakas, kemudian berdecak ringan. Siapa yang mindahin obatnya?

Ia yakin, bahwa dirinya tidak mengigau untuk berpindah tempat ke kamarnya sambil membawa obat. Ia rasa juga tidak ada yang membangunkannya untuk tidak tidur di bawah. Bukan masalah Rafael atau Dika yang memindahkan tubuhnya, tapi ia harap, tidak ada yang tahu mengenai obat yang ia bawa semalam.

Setelah meregangkan tubuh, Riska beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Menatap wajahnya dari pantulan kaca wastafel dengan datar. Wajahnya semakin tirus, kantung matanya juga semakin hitam, bahkan tulang belikatnya sangat terlihat. Terkadang, kulit di sekitar ujung jarinya menguning, atau muntah padahal tidak ada makanan yang masuk. Ia ingat, semalam Ratna mengukur berat badannya setelah diperiksa. Setelah didiagnosa ada tumor di saluran empedunya, berat tubuhnya turun tiga kilo. Itu bahkan belum ada satu minggu.

Terdengar helaan panjang dari mulutnya sebelum Riska mencuci wajah. Mengikat rambutnya menjadi satu sebelum keluar dari kamar dan turun ke bawah. Melangkah ke dapur dan mendapati Reina, Rafael, juga Dika yang saling berdiam diri di meja makan. Saling beradu pandang, menatap satu sama lain dengan sinis.

"Kalian ngapain?"

Suara Riska, menginterupsi kegiatan perang pikiran mereka. Refleks mereka merilekskan tubuh, berdiri dari tempat duduk masing-masing dan berdiri tepat di hadapan Riska.

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang