Scene 5

2.1K 176 19
                                    

/Sebuah Tangis dan Kecupan Pipi/

Langkah itu terhenti setelah berhadapan dengan seseorang. Riska mengangkat kepalanya ketika melihat sepasang sepatu berdiri di depannya. Lalu membuang wajah saat tahu Aram lah yang berhadapan dengannya.

"Kenapa?" tanya Riska, mengedarkan pandangannya, berusaha mengalihkan sosok Aram.

"Gak papa. Cuma mau mampir sebentar ke rumah kamu. Boleh kan?"

"Mau ngapain?"

"Kalo lagi ngomong, liat lawan bicaranya."

Riska kembali menoleh dan menatap Aram yang tengah tersenyum. Aram tampan, baik, dan penyabar. Riska bisa saja jatuh ke dalam jurang yang telah Aram buatkan khusus untuknya. Tapi bukan Aram yang Riska mau. Bukan Aram yang dirasa cocok untuknya. Aram mencintainya, tidak menutup kemungkinan jika Aram menerima Reina karena dirinya.

"Mau ngapain?" tanya Riska sekali lagi.

"Mau ketemu kamu. Sekalian ngasih Reina hadiah." Aram mengangkat tangannya, menunjukan sebuah paper bag besar dengan senyum yang tidak memudar.

Kelakuan Aram justru membuat Riska tersenyum ironis. Kakinya melangkah mundur memberi jarak. Sementara tangannya menyisir poni panjangnya ke belakang sebelum menjatuhkannya ke sisi tubuh. "Tau gak, apa yang paling menyakitkan dari sebuah perjuangan?" Riska memiringkan kepalanya memperhatikan Aram.

Dahi Aram mengkerut, "Maksudnya?"

"Saat lo berjuang dengan harapan untuk seseorang, dan orang itu gak bisa menuhin harapan lo. Rasanya ada yang kurang, nyeri, bahkan sakit. Rasanya sia-sia lo ngelakuin itu."

"Kamu ngomong apa sih?"

"Lo harus ngerti, kalo gue gak bisa menuhin harapan lo. Perjuangan lo ... lebih baik berhenti di sini. Gue lelah dikejar sama lo, emangnya lo gak lelah ngejar gue yang bahkan sekalipun gak pernah ngelirik lo?"

"Selama saya belum sampai batas, saya gak bakalan berhenti buat ngejar kamu. Lagipula, kamu berdiri di depan saya. Saya gak perlu lari biar bisa berdiri di samping kamu. Karena saya--" Satu langkah besar Aram mendekati Riska, menjatuhkan paper bag begitu saja, kemudian memegang bahu Riska. "Karena saya udah ada di depan kamu. Saya hanya perlu masuk ke hati kamu dan bikin kamu jadi milik saya."

*******

From : Dika
Lo dateng?
Reina biar gue yang bawa, di sana ada Papa. Ini keputusan lo, mau ngakhirin petak umpetnya, atau kita lanjut main kucing-kucingan? Gua harap, lo gak akan nangis di sana.

Helaan napas ke luar dari bibir merah itu. Riska meremas rambutnya dengan gelisah. Antara frustasi dan kesal dengan posisinya saat ini. Entah apa yang akan ia lakukan nanti ketika datang dan melihat cetakan senyum di wajah Erga. Ketika Papa menanyakan kabarnya serta kehadiran Reina. Ketika masa lalunya, berkumpul dalam satu tempat lalu menatapnya dengan tatapan berbeda.

Riska memukul stir mobil dengan kesal, membenturkan kepala belakangnya pada jok, lantas mengambil napas berulang kali. Kepalanya ia tolehkan ke samping jendela, memperhatikan sebuah gedung yang ramai akan tamu undangan pernikahan Erga.

Haruskah ia datang, menjabat tangan Erga dan memberi ucapan selamat dengan senyum palsu sambil menahan tangis atau kesal yang hendak ke luar? Riska pikir, akan lebih baik ia berdiam diri di dalam mobil, atau memperhatikan si empunya acara dari pintu masuk.

Lagi, Riska menghela napas sebelum melepas seatbelt dan ke luar dari mobil. Berlari kecil sambil memayungi kepalanya dengan tangan dari rintikan hujan, kemudian berdiri di depan pintu masuk tanpa berani melihat ke dalam.

[2] Ending Scene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang