Ini adalah pengalaman masak rimba pertama gue bareng Kak Ardit. Ini juga diadakan karena usulan gue waktu itu. Tapi kali ini kelompok masak gue nggak sama Kak Ardit. Gue kebagian masak ayam goreng bareng kelompok gue. Sedangkan Kak Ardit dapat tugas bikin sambel tomat sama kelompoknya. Kelompok lain lagi ada yang kebagian bikin nasi, bikin tahu dan tempe goreng, serta nyiapin lalapan dan sayuran rebus.
Kalau kelompok gue sih agak cerdas dikit. Ayam udah dibumbuin dan diungkep dari rumah. Jadi sampai di lokasi tinggal nunggu kelompok lain selesai ngegoreng tahu tempe dan gentian ngegoreng ayam. Cepat, mudah, praktis, dan nggak banyak keringat. Kelompok ayam, tahu, tempe dan lalapan udah selesai duluan. Kelompok nasi dan sambal kayaknya butuh waktu agak lama. Maka kami membantu kelompok yang belum selesai sembari menyiapkan daun pisang dan tempat cuci tangan. Kami membentangkan terpal dan tikar di bawah pohon yang sedikit berumput. Lalu mengalasi dengan koran bekas baru kemudian lembaran daun pisang utuh yang sudah dilap dibentangkan di atasnya.
Gue sengaja nengokin kelompoknya Kak Ardit. Gue lihat dia sedang kesulitan ngulek cabe. Ah, udah pasti lah cowok nggak ngerti cara ngulek cabe. Gue di rumah juga jarang sih ngebantuin mama masak, tapi setidaknya mama pernah kasih tau tehnik ngulek cabe lah. Gue ngelihat Kak Ardit sampai keringetan. Gue inget tips agar jadi cewek yang menarik yang pernah gue baca dari artikel online dulu. Musti peduli dan bisa diandalkan!
"Susah ya kak?" tanya gue modus.
"Iya nih."
"Sini, sini gue bantuin. Gue yang ngulek, kakak yang masuk-masukin bahannya." Modus nggak boleh tanggung-tanggung Coy! Biarpun kalem tapi harus tetep total! Jadi biar dia ada di deket gue. Gitu caranya! Modalnya cuma sedikit ide dan harus berani! Berani gagal, berani ditolak, berani diabaikan! Huh!
"Ya udah. Nih." Dan gue pun pegang kendali.
"Kalau ngulek sambel itu, pertama-tama cabenya dulu Kak, jangan langsung bawangnya. Bawang kan licin, bikin cabe nggak hancur sempurna. Ditambahi garam dikit biar hancurnya lebih cepet. Trus cobeknya harus dialasi kain biar nggak gerak-gerak."
"Gitu ya?"
"Iya. Sini masukin dulu cabenya." Kak Ardit mengambil beberapa butir cabe dan gue menggilasnya di cobek tanah liat. Setelah semua cabe kegerus, gue suruh dia masukin bawang putih, baru kemudian tomat. "Ada terasi nggak Kak?"
"Terasi yang kayak apa?" Dia bingung cari-cari di kresek plastik tempat bumbu.
"Itu tuh yang warnanya item kecoklatan kayak coklat tuh."
"Ini?"
"Ya. Potongin dikit aja."
"Ih, baunya nggak enak."
"Tapi kalau udah dicampur ke sambelnya, rasanya nikmat banget kak."
"Masa sih?"
"Iya. Bener. Lihat aja nanti." Terasi pun tercampur rata dengan ramuan sambal. Jadi deh.
"Sini gue aja yang bawa ke bawah pohon. Trims ya Fre udah dibantu."
"Iya Kak. Sama-sama." Setidaknya gue punya sedikit waktu buat ngobrol sama Kak Ardit. Gue juga bisa ada di dekatnya walau cuma beberapa menit saja.
Makanan ditata di atas daun pisang. Nasi ditaruh di tengah-tengah memanjang sepanjang tulang daun pisang. Tahu, tempe, ayam goreng, lalapan, sayuran rebus dan sambal juga ditata memanjang di pinggiran nasi. Lalu kami mencuci tangan, duduk mengelilingi deretan daun pisang, lalu berdoa bersama dan makan. Cowok-cowok di bagian kiri lingakaran sedangkan cewek-cewek di bagian kanan. Tapi dari jauh pun gue bisa ngelihat Kak Ardit. Memperhatikan bagaimana rapinya dia makan meskipun makan dengan tangan. Gue jadi tau kalau dia nggak suka tahu dan tempe. Dia cuma makan nasi pakai ayam goreng, sedikit sayuran rebus dan sedikit sambal. Gue jadi tau, dia nggak suka pedas. Ketahuan banget dari caranya makan. Habis nyolek sambel pasti dia buru-buru minum.
Makanan bersih nggak ada sisa. Hanya tulang ayam dan tangkai daun lalapan. Kami pun segera membereskannya setelah cuci tangan. Daun pisang dan sisa tulang kami buang ke tong sampah organik. Sedangkan koran bekas kami lipat lagi dan kami taruh di tong sampah anorganik. Semua bersih. Tanpa meninggalkan sampah. Anak pramuka harus begitu. Cinta lingkungan dan alam sekitar melalui tingkah laku sehari-hari. Kami tinggal membawa pulang alat masak masing-masing. Semua kenyang. Semua senang.
"Sambalnya enak nggak Kak?" tanya gue ke Kak Ardit waktu mau bubaran. Sengaja gue deketin dia sebelum kabur.
"Lumayan. Pedesnya menggigit. Tapi temen-temen pada suka kok."
"Iya dong, siapa dulu yang bantuin ngulek."
"Oh iya, ayam gorengnya gurih, garing, dan dagingnya empuk. Kelompok lu ya yang bikin?"
"Iya dong Kak." Ya udah setidaknya meskipun dia nggak ngelontarin kata-kata pujian, tapi dia mengakui kalau sambel dan ayam goreng karya gue enak. Gue deh yang terpaksa muji diri sendiri.
"Sering-sering bikin acara kayak gini asyik juga." Oh, setidaknya dia mengakui kalau ide gue memang keren!
"Oh iya Kak. Pokoknya siap!" Dan dia tersenyum. Baru kali ini gue seumur-umur ngelihat dia tersenyum khusus di depan muka gue seorang. Awwwww......
Oh Tuhan....hambamu ini selalu berdoa supaya didekatkan dengannya kalau memang dia jodoh gue dan dijauhkan saja kalau memang bukan jodoh gue. Apakah ini pertanda dari-Mu Tuhan bahwa hamba-Mu ini memang Kau ijinkan buat lebih dekat dengannya......eeaaaaaaa......
*
KAMU SEDANG MEMBACA
SEJAUH NEPTUNUS
Teen FictionMenurutmu, lebih bahagia dicintai atau mencintai? Dicintai memang enak dan lebih mudah, tapi menurutku, mencintai jauh lebih membahagiakan. Sebab dengan mencintai, kita hanya berpikir untuk memberi dan terus memberi tanpa pernah ingin menuntut. Menc...