Part 30
Istirahat kedua ini gue males banget buat keluar kelas. Gue lagi pe-em-es, jadi mau gerak ke sana dan ke mari kayak biasanya, nggak bersemangat. Gue titip minum dan camilan sama Rena. Dan gue berdiri merenung di jendela kelas yang menghadap ke bagian belakang sekolah. Karena kelas gue di lantai dua, maka gue bisa lihat deretan rumah penduduk di bawah sana. Ya di bawah sana, pemandangan yang nggak pernh gue lihat sebelumnya. Gue jarang banget ngelihat pemandangan luar kelas dari jendela ini. Karena biasanya gue kalau istirahat lebih eneng ke kantin, ke sekre pramuka, mondar-mandir di lorong antar kelas, atau nyamperin Kak Ardit ke kelasnya. Gue juga yakin, temen-temen sekelas gue juga jarang berdiri senderan di sini sambil ngintip ke luar jendela.
Rumah penduduk cuma kelihatan atap-atapnya saja. Berjejer seadanya tanpa ditata kerapihannya. Antena TV bermunculan di atap-atap berwarna coklat kusam itu. Dan ada segerombolan burung sedang hinggap di kabel listrik. Kasihan mereka, sangking minimnya dahan pohon sampai menclok di kabel listrik yang menjulur-julur ke genteng rumah-rumah itu. Eh, ada gardu juga di situ......dan ada segerombolan anak berseragam SMA yang duduk-duduk di situ? Gue ngucek mata karena nggak jelas. Ah iya, beberapa anak laki-laki. Sedang duduk di situ. Kok bisa? Kan pintu gerbang sekolah dijaga satpam dan nggak boleh keluar sekolah tanpa ijin? Jam istirahat pun nggak boleh keluar areal sekolah tanpa ijin. Berarti mereka lompat pagar sekolah dong? Gue jadi penasaran.
Gue ambil handphone gue di tas. Gue buka kamera dan arahin ke gardu itu. Zoom out. Gue penasaran banget deh. Hah?What? Kak Ardit? Dan teman-teman futsalnya? Ngerokok???!!! Dan dengan begitu aja, tanpa mikir apapun, spontan, gue tekan lingkaran rekam video. Di bawah sana, di gardu itu, ada sekitar lima orang sedang ngerokok sambil bercanda ketawa-ketawa. Oh, Tuhan. Ya ampun, Kak Ardit. Gue sampai lemes ngelihatnya. Nggak percaya sama apa yang gue lihat barusan.
"Woi, Frea! Nih minum lu!" Gue kaget. Rena datang. Gue langsung tekan tombol lagi, rekaman video berakhir. "Ngerekam apa lu? Sampai segitunya?" Rena mendekat. Celaka!
"Eh, itu ada burung merpati menclok di genteng. Bulunya bagus. Tapi sudah terbang. Eh, mana minum gue?" Gue segera menahan Rena dengan meminta gelas minum gue. "Yuk, minumnya di lorong deket tangga aja yuk. Ntar kalau bececran, banyak semut, kita suruh ngepel lagi."
"Oh, iya, yuk." Haduuuuuh, untung aja Rena nurut. Dan sampai pulang sekolah gue jadi nggak konsen. Kepikiran Kak Ardit mulu. Gue nggak nyangka aja Kak Ardit bisa senekat itu. Apa yang dia lakuin itu kan bisa berakibat fatal buat dirinya. Buat masa depannya. Buat masa depan gue juga.....
*
Kak Ardit hanya diam setelah melihat video yang gue sodorkan padanya. Seperti pencuri yang ketahuan sedang beraksi. Dia tampak gelisah. Mukanya menunduk dan nggak berani ngelihat muka gue. Gue terus berusaha menatap wajahnya, tapi mukanya makin tertunduk. Mungkin dia merasa malu, takut, cemas, atau jatuh harga dirinya.
"Kalau sampai guru BK tau, kakak bisa didiskualifikasi dari proses masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur undangan. Kenapa sih?" Tanya gue.
"Tidak ada yang tahu kalau video itu lu hapus." Katanya pelab sambil masih menunduk.
"OK. Gue hapus sekarang juga." Gue buru-buru nge-delete video itu dari galeri gue. "Maaf, gue nggak bermaksud ikut campur sebenarnya. Tapi selama beberapa bulan ini kita dekat. Gue jadi peduli sama kakak." Kata gue.
"Apa menurutmu merokok itu salah?" tanyanya. Gue diam. Gue inget sama omongannya Gogon waktu di saung entah kapan itu. Kalau cowok nggak bisa diukur kadar kualitas iman dan takwanya hanya dari merokok atau tidak. Merokok adalah pilihan dan akibatnya ditanggung sendiri.
"Enggak. Nggak salah."
"Lalu masalahnya apa kalau gue ngerokok?"
"Kan udah gue bilang, kalau guru BK sampai tau, kakak bisa nggak aman."
"Kan guru BK nggak tau. Kecuali lu kasih tau."
"Gue nggak bakalan kasih tau siapa-siapa. Kok nadanya nuduh gitu?"
"Ya habisnya. Yang tau kan cuma lu."
"Ya, kali ini cuma gue, kalau suatu saat ada orang lain yang tau?"
"Kenapa sih? Lu nggak suka sama cowok perokok?" Dia menatap mata gue tajam. Gue cuma diam. Gue takut dia tersinggung. Kalau gue jujur, bilang tidak suka, gue takut kehilangan dia. Jangan-jangan dia nekat pergi ngejauhin gue. Tapi kalau gue bilang fine-fine aja, gue nggak jujur. Maka gue pilih diam. "Kenapa? Nggak suka?"
"Em, gue sih menghargai setiap pilihan orang."
"Ya udah. Berarti nggak masalah kan?"
"Gue cuma takut."
"Takut apa?"
"Itu bisa ngehalangi cita-cita kakak dapetin jalur undangan."
"Selama nggak ada orang lain yang tau, aman. Gue juga bakalan hati-hati."
"Selain itu, ngerokok kan nggak baik buat kesehatan."
"Gue bakalan sehat-sehat aja, Frea. Gue juga rajin olahraga ini." Akhirnya gue diam. Nggak ngerti lagi harus ngomong apa buat nunjukin rasa peduli gue ke dia. Buat nunjukin kalau gue tuh cinta sama dia.
Oh, Kak Ardit. Kenapa sih lu jadi aneh-aneh gini? Kenapa juga lu jadi keras kepala?
*
KAMU SEDANG MEMBACA
SEJAUH NEPTUNUS
Novela JuvenilMenurutmu, lebih bahagia dicintai atau mencintai? Dicintai memang enak dan lebih mudah, tapi menurutku, mencintai jauh lebih membahagiakan. Sebab dengan mencintai, kita hanya berpikir untuk memberi dan terus memberi tanpa pernah ingin menuntut. Menc...