Senin, hari yang paling indah.
Mars mengamati pintu gerbang sekolah. Pagar tinggi yang terlihat seperti triden poseidon dalam game yang akan menusuk siapapun yang terlambat dan mereka yang berniat menerobos masuk atau keluar secara paksa.
Sekolah ini, sekolah paling ketat peraturannya dan paling elite di kota tempatnya tinggal di negara yang baru ia tinggalin seminggu ini. Mars sama sekali tak ingin bersekolah di sini, kalau ia boleh jujur (dan kalau ada yang cukup peduli untuk memperhatikan seorang jomblo sepertinya).
Kenakalannya di SMP yang sampai melibatkan kepolisian setempat, membuat kedua orangtua Mars merasa sangsi untuk mendaftarkan Mars ke sekolah yang manusiawi yang akan menolerir kenakalan remaja, yang jelas sama sekali bukan imej sekolah ini.
"Padahal itu hanya tepung terigu, masa iya dikira ganja. Satpam hotel sinting," Mars bergumam-gumam dan memandang sepatunya sendiri.
"Hai, Mars. Sekolah di sini juga?" seorang menepuk punggung Mars lebih keras dari seharusnya.
Mars membalikkan badannya cepat, sekalian tas bekal makan yang ia bawa untuk dihantamkan ke wajah seseorang yang memukul punggungnya terlalu keras itu, tapi batal, "Pa-paman Shin?! Maksudku, Shin?!"
"Wah... Terima kasih. Kau membuat mood-ku membaik, meski masih malas untuk masuk kelas. Huft," Shin tersenyum dan mengambil tas bekal dari genggaman Mars yang hanya beberapa senti dari wajahnya.
Mars mengedip tak paham dengan apa yang baru dilihatnya. Shin yang itu. Ia pikir Shin beberapa tahun lebih tua darinya, tapi ternyata orang itu bisa terlihat seumuran dengannya dalam balutan seragam putih abu-abu, seragam khas anak SMA di negara ini. Mars terus mengamati Shin yang berjalan ogah-ogahan melewati gerbang. Sepertinya dia melewatkan sesuatu yang penting.
"Ah?! Bangsat! Tupperwer mama!" Entah berapa harga wadah makan itu, tapi Ibu Mars bilang itu lebih berharga daripada keperjakaannya yang begitu suci.
"A-apa kamu bilang?!" kali ini suara seorang gadis. Mars menolehkan ke kanan, ke arah asal suara. Seorang gadis pendek dan kurus dengan mata biru dan rambut pirang, gadis yang entah mengapa mengeluarkan aura menakutkan dari dirinya, "bisa-bisanya kamu mengataiku seperti itu."
"Ap-apa?! Aku bukannya-!"
Plakk!
"Kamu tuhh jaad!"
Bak drama-drama romantis picisan yang tidak terlalu laku di pasaran, gadis itu berlari dengan mengusap sebelah airmata setelah menampar Mars yang membatu, mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Kau..." seorang pemuda lain, berwajah khas orang Italia, menarik kerah baju Mars, "kau apakan Jasmine tadi?"
"The hell, man! Aku bahkan ngga kenal cewek itu!" Mars meluruskan tangannya ke arah gadis itu pergi.
"Kau takkan bisa membohongiku. Look," pria itu mendekatkan wajahnya yang sedang marah pada Mars, "I'm watching you." Setelah mengatakannya, pemuda itu mendorong begitu saja tubuh Mars.
Untung aku pernah ikutan kung fu bareng panda, batin Mars melantur saat ia menstabilkan tubuhnya agar tidak jatuh. Matanya terus beradu pandang dengan pemuda Italia sialan yang setengah berlari menyusul si gadis, meski matanya masih sok-sok mengancam Mars.
Bertengkar di hari pertama sekolah akan memberikan cap pada kepalanya sebagai bad boy sekolah, dan itu membuatnya risih. Cukup masa SMP saja yang dikenal sebagai bad boy. Karena baginya, SMA adalah titik penting dalam hidup.
Kenapa?
Karena Papanya bilang, jika ia masih membuat ulah di sekolah baru, dia akan dijual pada germo untuk menjadi gigolo, dan itu bukan ide bagus mengingat ia tidak suka dengan wanita yang lebih tua. Mungkin akan dipertimbangkan jika dia akan mendapatkan germo yang hanya menerima pelanggan dari gadis-gadis loli... Melantur lagi. Hidup keperjakaan suci! Motivasi diri yang bagus, Mars.
KAMU SEDANG MEMBACA
What If...
UmorBagaimana jika... tokoh-tokoh buatan Milly adalah murid dan guru di sebuah sekolah di Indonesia? Zeus akan membully siapapun yang berniat PDKT ke Simca. Abraham akan menjadi nerd paling freak sesekolah raya. Ailee akan berebut posisi Queen of This...