02

44.6K 3.4K 56
                                    

"Haahh... kayaknya aku harus punya pacar lagi biar bisa move on dari Mas Damar."

Aku melemparkan tubuhku di atas ranjang small size milik Kanaya, sahabatku semenjak kuliah selain Renita. Saat ini aku sedang berkunjung ke flat kecilnya. Kanaya adalah orang Malang yang saat ini menempuh pendidikan di Jakarta.

"Kamu gak sakit hati?" tanyanya mengalihkan fokusnya dari masakannya, memandang ke arahku.

Flat ini disamping kecil juga tak ada sekat. Satu-satunya sekat hanya kamar mandi. Jadi makan, tidur, memasak dan kegiatan lainnya selain mandi dilakukan dalam ruangan kecil ini.

"Orang bego mana yang tidak sakit hati pacarnya menghamili sahabatnya." Jawabku skeptis sambil menatap kesal ke arahnya.

"Tapi kamu tidak terlihat seperti wanita yang sedang patah hati." Ujarnya. Ia kembali sibuk mengaduk-aduk masakan di atas penggorengan.

Hidungku mengendus-endus seperti anjing. Astaga, baunya sungguh lezat. Kuakui temanku ini sangat pandai memasak.

"Lalu apa aku harus nangis, meraung-raung seperti orang gila, lalu bunuh diri?" tanyaku.

Kanaya mengedikkan bahunya tak peduli. Ia masih sibuk menambahkan bumbu-bumbu penyedap dalam masakannya sambil sesekali mencicipi hasil masakannya.

"Aku tidak akan menyiksa diri sendiri dengan melakukan hal tidak berguna seperti itu. Yah... meskipun kadang aku tiba-tiba nangis." Tambahku.

Aku juga tidak mengerti, kenapa aku masih saja menangisi mereka. Padahal logika dan pikiran sehatku mengatakan aku harus melupakannya. Tapi sayangnya logikaku sama sekali tidak sinkron dengan hatiku.

Tidak mudah bagiku melupakan 2 tahun waktu yang kuhabiskan dengan Damar, meskipun aku tahu dalam rentan waktu itu Damar dan Renita sudah berkhianat di belakangku.

"Baguslah. Lalu kamu akan datang ke acara pernikahan mereka?"

"Of course!" Jawabku yakin. "Tapi dengan siapa aku akan datang. Apa aku harus menyeret salah satu pria di kampus untuk kujadikan pasangan?"

Aku mulai menerawang. Apa mungkin aku kesana sendirian? Sangat tidak lucu. Aku hanya akan terlihat seperti wanita bodoh yang datang ke acara pernikahan sahabat dan mantan pacarnya jika seorang diri. Bagaimana kalau aku tiba-tiba menangis dan mempermalukan diriku sendiri?

Tidak!

Aku menggeleng cepat, mengenyahkan segala pikiran burukku.

"Menurutmu diantara Rony, Dodik, Justi, dan Miko siapa yang lebih cocok?"

"Semuanya terlihat konyol." Jawab Kanaya asal.

Aku mendelik tajam ke arahnya.

"Apa?" tanyanya tanpa merasa bersalah.

Aku benar-benar ingin mencekik leher Kanaya sekarang. Tapi memang benar yang dikatakan nenek sihir bermulut tajam itu, di kelas tak ada pria yang bisa dibanggakan. Apalagi Renita pasti bisa mengenali mereka semua. Aku tidak ingin Renita menertawakanku karena datang dengan pria-pria bodoh itu.

Aku mendengus frustasi. "Aku rasa kamu benar."

Kanaya memindahkan hasil masakannya ke dalam 2 buah piring. Aku yakin satu itu pasti untukku. Tanpa disuruh aku bangun dari posisiku dan menghampiri meja kecil yang hanya berjarak 3 langkah dari tempat tidur.

Aku duduk bersila sambil menunggunya membawakan makanan untukku. Dan mataku berbinar cerah melihat sepiring nasi goreng seafood itu terhidang di hadapanku.

Dengan memejamkan mata, aku menghirup aroma sedapnya yang masih mengepul.

"Apa kamu nggak malu terus numpang makan disini?" Kanaya bersedekap di depan dada sambil menatapku.

SUDDENLY IT'S LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang